Saturday, January 31, 2015

Semoga Aku Salah Menafsirkannya

Eky Nur Rofiqoh, Renara Theazita Araminta, Yovinda Prabanayu RHarus aku mulai menulis kalimat apa jika kalimat pertama dalam sebuah tulisan, untukku selalu menjadi momok paling menakutkan. Haruskah aku berdalih bahwa ini hanya #coretanSINGKAT atau bahkan #sajakSINGKAT? Sungguh aku ingin sekali mengatakan bahwa jika tulisan ini terselesaikan adalah sebuah persembahan. Namun sepertinya sangat sulit menjadi kenyataan. Tapi, malam ini diiringi rintik hujan yang menjadikan mega sore ini tiada aku akan berusaha.

Enam hari terbaring di atas tempat tidur tiada beberapa sahabatpun tau kecuali keluargaku. Seperti rasa ini, rinduku pada mereka (sahabatku) yang tidak aku ungkapkan selain lewat tulisan. Lalu harus bagaimana aku mengungkapkan jika yang aku bisa hanya bersuara lewat kata dan membisu lewat lagu. Semestinya aku tidak sepengecut ini, selalu takut menjadikan kata bernyawa agar bersuara, paranoid menjadikan tulisan langsung bisa tersampaikan. 

Kudengar petikan suara gitar tak berakor di ruang tengah rumahku. Namun bagaimana bisa otakku terus menggebu seolah sakau untuk menulis sesuatu. Tepatnya tujuh hari yang lalu kita bertemu. Jika boleh aku uraikan mengenai pertemuan itu adalah singkat. Pertemuan kita berempat yang sangat singkat, tiada kesan, tiada kenangan, dan tiada pesan yang tersampaikan. 

Bagaimana tidak? Hampir lima bulan kita tak bertatap muka ternyata perlu waktu sesingkat itu untuk merubah segalanya. Merubah semua yang awalnya benar-benar ada dan kini tiada bergambar sedikitpun dihadapan muka. Aku berharap bukan alasan untuk terus mengalihkan permasalahan, bukan karena perbedaan media sosial yang kini dimilikinya hingga terkesan tiada pesan tersampaikan atau sedikit kabar kegembiraan.

23 Januari 2015, aku bertemu dia. Sosok paling kecil dari semuanya. Sayangnya, ternyata kini dia telah dewasa, betapa bangga aku melihatnya menjadi bagian dari panitia besar adalah keputusannya. Bertemu dirinya dalam sebuah acara besar, mungkin menjadikan aku terlihat sangat kecil dimatanya. Responnya sungguh biasa saja ketika sekitar tujuh jam kita di bawah satu atap yang sama (Gedung Olahraga dan Seni Mahesajenar), padahal dia tak tau betapa diriku sangaat merindu. Diiringi detak sound system yang memang sedang dipersiapkan untuk acara hari selanjutnya menjadikan detak hatiku yang menggebu-gebu merindu semakin tak terdengar olehnya. Apalagi pandangan matanya yang memang benar-benar sedang disibkukkan dengan dekorasi ruangan yang memang diseting agar tidak mengecewakan. Jika saja dia sering melihatku waktu itu, mungkin sesekali dia sadar bahwa dalam waktu tujuh jam aku banyak menghabiskan waktu untuk melihatnya. Melihat kedewasaannya, melihat kepanikannya, melihat tanggung jawabnya, melihat kesibukannya, hanya saja aku tidak melihat satu hal dari dirinya yaitu dia tidak melihatku yang memperhatikannya. Aku paham bahwa "Sesuatu yang besar perlu pengorbanan yang besar pula, tetapi jangan mengorbankan orang-orang yang disekitar kita. Karena dengan mengorbankan mereka, kita akan kehilangan sesuatu yang lebih besar. Yaitu sesuatu yang pernah kita miliki sebelumnya." - Umy Amanah

24 Januari 2015, aku bertemu banyak orang dalam Purbalingga Campus Fair (PCF) 2015. Jujur saja yang aku tunggu-tunggu sebenarnya adalah dia. Seseorang yang pernah paling dekat denganku. Bukan pacar, tapi sahabat sebangku. Tapi ternyata dia datang entah untuk siapa, baru kali ini aku tidak bisa membaca maksudnya. Awalya aku kira dia datang untukku, karena sebelumnya aku telah berkunjung ke rumahnya dan dirinya berniat ingin sekali datang dalam acara yang mengharuskanku stand by di sana. Bahagiaku kala kuketahui dirinya akan menghadiri acara yang biasanya menjadi sarana temu kangen ria. Pasalnya, genap lima bulan lebih lima hari aku tak bertemu dirinya, bayangkan betapa kangennya aku pada sahabatku yang satu ini, jutaan cerita aku simpan untuk keesokan harinya aku ungkapkan. Semalaman aku memimpi-mimpikan akan hari itu. Namun betapa merintihnya aku ketika dia datang dan mendekatiku, lalu dia menceritakan bahan cerita bukan tentang aku dan dia bahkan bukan tentang kita. Tapi tentang orang lain yang pernah menyakitinya yang kala itu juga berada dalam tempat yang sama. Ternyata entah sampai kapan aku tidak bisa mengartikannya, mengartikan tentang dia yang kala itu datang untuk siapa? "Terkadang kita perlu menyiapkan diri untuk mendatangi sesuatu. Agar suatu saat kita tidak menyesal, bahwa ternyata tujuan kita untuk mendatangi orang yang kita sayangi justru menjadikannya tersakiti." - Umy Amanah

24 Januari 2015, aku juga bertemu dia. Seseorang yang kini telah memiliki orang yang sangat dia sayangi setelah kita. Sayangnya dia kurang tertarik saat melihatku, mungkin karena ada sosok yang lebih penting di sampingnya daripada diriku. Kemudian aku menghindarinya, ternyata diapun semakin tidak terlihat mata. Menghilang dalam kerumunan ratusan orang. Atau mungkin karena aku tidak terlalu tinggi hingga aku tidak bisa melihatnya yang tertutupi. Namun sampai sekarang aku tidak mengetahui tujuan dia datang waktu itu. Untukku, untuk sahabatnya, atau untuk yang dia cinta? Tak jelas memang. Terlebih perbincangan kita sangat-sangat sedikit, bahkan terkesan tak ada perbincangan. Hal ini karena pertemuanku dengannya hanya tegur sapa. Jujur saja waktu itu aku benar-benar rapuh. Bagaimana tidak? Jika tujuanku pulang dalam libur semester ini selain bertemu keluarga adalah melepas rindu bersama dia yang pernah menjadi warna dalam kanvas dunia. Tapi jika yang terukir kini adalah warna putih pada kanvas putih, bagaimana aku akan menceritakaan keindahan pertemuan kita pada orang lain di luar sana? "Saat kita melupakan sesuatu yang telah kita miliki karena ada hal baru. Betapa kita merugi akan kenangan yang telah tercipta dan hal baru itu belum mampu memberimu yang sepada." - Umy Amanah

Maafkan aku wahai sahabat-sahabatku, telah menjadi sosok pengecut di balik kata. Ini adalah  rinduku pada kalian semua, tentunya yang tiada kalian menyadarinya. Kujadikan ini sebagai persembahan pertemuanku pada kalian. Persembahan ceritaku pada orang lain di luar sana, berutungnya aku jika suatu saat kalian menyadari dan mengetahui dengan membaca tulisan ini bahwa rinduku pada kalian tidak pernah sampai terfikirkan. Namun aku berharap beberapa perasangka, aku salah menafsirkannya. Itu saja,

Umy Amanah

Thursday, January 22, 2015

FINALLY, Semester Pertama Terlewati

Keluarnya Indeks Prestasi atau yang lebih terkenal dengan IP Senin lalu (19/1) ternyata menandakan bahwa perkuliahan semester pertama terlah terlewati. Tepat lima bulan kurang satu hari menjalani kehidupan dengan embel-embel status sebagai mahasiswa tentunya banyak yang akan aku ceritakan. Namun kalian jangan berfikir bahwa aku akan bercerita mengenai bagaimana aku mendapatkan IP lebih dari tiga diatas kertas. Apalagi memperlihatkan hasil printoutnya, karena aku lebih suka menceritakan "behind the scene" dari apa yang ada di atas kertas, menurutku itu lebih menarik.

Perkara pertama yang paling aku suka menjadi mahasiswa adalah saat Ospek 20-23 Agustus 2014. Masuk menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra dan Seni Rupa menjadi hal tak pernah terfikirkan olehku, apalagi ada dalam iring-iringan maskot lumba-lumba bertuliskan FSSR yang menjadi point of interest semua mata pada waktu itu. Dipanggil pertama dari semua fakultas menunjukan bahwa fakultasku memiliki umur tertua dalam universitasku. Betapa bahagianya menjadi bagian dari orang-orang yang mencintai kata dan seni dalam hidupnya. 

Kemudian aku berkenalan bersama mereka Kelompok 4 Studi Alternatif dan Ajang Kreatifitas (SAJAK) Sastra Indonesia 2014 yang diberi nama Muda Taruna dengan beranggotakan Icha Latifah Hanum, Isti, Ali Mustofa, Puput Siti Nur'aini, Eka Kristina Anggasari, Agung Satrio Nugroho, Dwi Rosiana Putri, Ayu Mardiyah dan aku sendiri. Ospek jurusan yang sebenarnya melelahkan namun terbayarkan lewat air mata saat kita akan dipisahkan ketika puncak acara telah terlewati dan proses menuju puncak telah dijalani. Terimakasih akan tawa yang selalu membuat kita bahagia, perbincangan yang selalu aku kangenkan, kasih yang selalu tertuah tanpa pamrih, karsa yang selalu diberi tanpa bersuara, namun ada yang pelu kita pelajari bersama bahwa perlu membedakan antara percaya diri dan gengsi, serta optimis dan ambisi. Namun yang aku salutkan perlu adanya kebersamaan tuk tercipta persahabataan. 

Kemudian aku ingin berbicara mengenai hari bahagia. Bagaimana tidak? Tahun lalu pertama kalinya aku melewati ulangtahunku tidak bersama keluarga dan orang-orang tercinta. Awalnya aku takut saat akan melewatinya. tepat 26 Agustus 2014 hari itu ditakdirkan aku bertambah usia. Semakin dewasa dan mendekati-Nya. Namun terimakasih Tuhan, karena hari itu aku masih merasakan bahagia dari keluarga yang acap kali mendoakan, orang-orang terkasih yang kerap kali memberikan sesuatu tanpa pamrih, serta sahabat yang kadang tetap hadir meski tak sempat bertatap. Awalnya aku kaku merasakan hari bahagia dalam kesendirian, namun tiba-tiba sahabatku menitipkan sesuatu untuk diriku. Katakanlah kado ulangtahun darinya untukku. Terimakasih Eky Nur Rofiqoh atas kado yang terkirim lewat sahabatmu. Terimakasih telah menganggap jarak tak sejauh realita, terimakasih telah menganggap kesibukan tak seperti biasanya hingga tiada lupa, terimakasih atas doa yang tak terlupa, dan terimakasih atas boneka warna jingga.

Tidak dengan melupakan cerita persahabatan, aku akan menambah cerita pertemuan. Dipertemukan oleh Tuhan dengan Eka Kristina Anggasari ternyata memberi kesan berlanjutan. Seperti sekarang ini, jujur saja kita semakin dekat seperti keluarga. Mungkin seperti kebanyakan orang mengatakan bahwa diantara kita itu saling melengkapi kekurangan masing-masing. Menjadi manusia yang berada dalam tempat perantauan demi melaksanakan salah satu ibadah yaitu menuntut ilmu tentunya bukan hal mudah. Jauh dari keluarga terkadang menjadikan kita berfikir untuk menemukan sosok keluarga baru. Alhamdulillah,.... aku menemukannya dalam dirinya (Eka Kristina Anggasari). Terimakasih telah sudi menjadikanku beban sehari-hari di sepeda motormu, terimakasih telah menemani saat panas tubuh ini tidak seperti biasanya, terimakasih telah menjadikanku terkadang lebih dewasa, terimakasih telah membuatku menjadi sosok lebih sabar dari sebelumnya, terimakasih tumpangan makan beberapa waktu sebelumnya, serta terimakasih atas obat yang kau belikan saat aku tergeletak tak bertenaga, serta terimakasih atas kasih seperti keluarga yang kau tulus memberikannya. Semoga kita akan sampai pada kekeluargaan yang semestinya dengan tidak melupakan sedikitpun proses menujunya.

Lalu akan aku ceritakan mengenai sosok inspirasi dalam hidupku, meski dia masih sebaya denganku. Puput Siti Nur'aini yang dengan tangan terbuka mau menerima aku merasakan Lebaran Idul Adha (Minggu, 5 Oktober 2014) dengan bahagia meski tanpa keluarga. Mahasiswa perantauan yang tidak bisa pulang bertemu keluarga dihari raya sepertiku dan temanku Zulfah Mirda Matondang (Langkat, Medan, Sumatra Utara) diperbolehkan menginap di rumahnya ditemani Dwi Nur Masitoh. Keluarganya yang sebegitu baiknya menjadikanku merasakan kebahagiaan hari raya yang luar biasa. Menjalankan sholat 'id di lapangan Desa Klolokan, Kebakkramat, Karanganyar, Solo-Jawa Tengah menjadi penyempurna kebahagiaan yang tidak seperti biasanya. Melewati dua hari satu malam bersamanya sungguh menjadi ladang ilmu yang luar biasa. Dimana aku belajar bagaimana kesederhanaan menjadi mahkotanya, senyumnya menjadi kekuatan dalam hidupnya, rutinitas sebagai ladang ibadah baginya, sikapnya yang harusnya menginspirasi dunia, serta hidupnya yang sekarang menjadi pedoman pembelajaranku padanya. Memiliki moto "Jadilah Orang Yang Bermanfaat" benar-benar dia terapkan dalam hidupnya. Aku belajar darinya bahwa moto adalah realisasi dari pemikiran yang harus dilakukan agar menjadi kenyataan. Terimakasih Puput, telah mengajarkanku meski tanpa buku ini sungguh berarti bagiku. 

Menjadi mahasiswa tentunya tidak semua pengalaman atau cerita terlukis di luar kampus, beberapa juga tercipta di dalam kampus itu sendiri. Seperti pengalaman pertama pemati nadi tubuh pertama kali. Saat dimana 3 Desember 2014 aku, Nuraini Isti Kusuma, Dhika Aprilia menjadi wakil dari Kelas B Sastra Indonesia 2014. Mewakili mahasiswa dalam perlombaan di lapangan mungkin masih bisa terfikirkan, namum mewakili dalam forum kegiatan rutin seperti Seminar Antartingkat (SEMANTIK IV) Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS sebagai pemakalah benar-benar tak pernah terlewat dalam pikiran sebelumnya. Persiapan hanya 3 hari dan dituntut menyerahkan makalah yang hanya dibuat sekitar 6 jam menjadikan kita memiliki mental yang hanya bermodal Bismillah. Bermodal Bismillah, makalah yang dibuat selama 6 jam, serta dukunga dari semua teman-teman kelas berharap mematikan grogi dalam diri ini. Bagaimana tidak grogi jika audiensnya adalah semua mahasiswa dari semua angkatan dan beberapa dosen. Sebagai mahasiswa semester pertama dan tingkat pertama tentunya kita belum memiliki bekal apa-apa, namun yang aku perlu apresiasi dari diriku bahwa ternyata aku berani malkoninya. Sungguh, perlu mental baja untuk melihat banyaknya orang di hadapan kita dan mereka akan menyaksikan bagaimana kita menjadi pemakalah yang menyampaikan materi yang kita buat sebelumnya. Namun itu menjadi salah satu pengalaman tak pernah terlupakan.

Lepas dari itu, aku ingin bercerita beberapa hari lalu sebelum liburan mendekatiku. Mengerjakan tugas UKD 3 dan UKD 4 Antropologi mengajarkanku kesantunan lewat tulisan. Aku ceritakan seorang kawan bernama Partini, singkat sekali bukan namanya? Benar, namanya itu saja dan tidak ada kepanjangannya. Tapi sungguh, perlakuannya akan panjang sekali jika aku ceritakan. Berawal karena aku menjadi boncengers motornya kita membeli menu makan siang ayam penyet yang satu porsinya dihargai Rp 7.000,00. Lalu apa yang penting dari ceritaku sebelumnya? Ini yang penting bahwa ternyata ayam penyet itu mengantarkan kita berdua ke kostku. Tentunya untuk melaksanakan ritual makan siang yang paling didambakan anak kost pada umumnya. Makan menjadi yang kita dahulukan sebelum mendirikan sholat dzuhur, terang saja hal itu kita lakukan agar saat sholat dzuhur pikiran kita tak tertuju pada ayam penyet dengan godaan sambal yang saat dimakan menjadikan lidah membara. Setelah sholat dzuhur, laptop menjadi pelampiasan dari tugas yang harus segera dikirimkan. Dengan sistem copy paste menjadikan aku ketiduran, hal itu karena tugasku telah aku kirimkan sebelum dirinya. Tini, sapaan akrabnya memang mahasiswa yang memiliki tingkat kepanikan cukup tinggi. Namun aku bingung, kenapa saat mengerjakan tugas dia diam dan sangat serius. Justru kebisingan tercipta dari suara televisi yang saat itu diseting channel yang menayangkan film korea kesukaannya. Mungkin karena tidak suka, jadi aku terlelap dalam keadaan yang sebenarnya tidak nyaman untuk tidur semestinya. Perkara apa saat aku bangun ternyata dia sudah menghilang entah kemana, tv masih bersuara seperti jadwal biasanya, laptop masih tergeletak di depan pintu sana, serta kertas berada di sampingku entah apa maksudnya. Saat aku buka kertas itu dan aku baca tulisannya "Umi maaf aku pulang dulu, tadi aku udah bangunin kamu tapi kamu kayaknya pulas banget tidurnya jadi aku langsung keluar. Makasih banget laptopnya." Dari tulisan itu aku belajar banyak, bagaimana tulisan tangan masih menjadi hal paling santun menurutku ketika kemajuan teknologi semakin tidak terkendali. Tulisan menunjukan sebuah ketulusan, seperti dapat diambil pelajarannya bahwa dia rela menyobek bukunya demi sebuah pesan tak pernah terduga, menulis kata-kata sederhana yang bermakna luar biasa dengan tangannya, dan hasilnya menjadi kenangan tak pernah terlupakan olehku yang menerimanaya karena jarang sekali pada zaman ini aku mendapatkan hal yang sama seperti apa yang dilakukannya. Terimakasih Tini, telah mengajarkanku kesantunan lewat tulisan dan kenangan manis yang tak pernah terlupakan akan sebuah tulisan kesederhanaan. 

Selanjutnya aku akan bercerita mengenai peran perempuan dalam kekuatan kemandirian. Memutuskan untuk lebih memilih membeli sepeda sebagai alat transportasi dalam beraktifitas menjadikan sebuah pengalaman pertama saat membelinya. Bersama Ema Candra Kusuma teman SMP tiga tahun sebelumnya kita memulai langkah kaki yang diwakili dua roda berputar tanpa tau lelah mengantarkan kita berdua berkeliling Surakarta. Kota dengan semboyan The Spirite Of Java kita lalui dengan penuh tekanan batin karena ketidaktahuan logika dan pikir akan rute yang kita lewati. Luap rasa malu seakan tak kita punyai ketika lampu bangjo menjadi saksi kebingungan kita akan jalanan kota. Apalagi saat roda sepeda yang kita ikut sertakan menjadi bagian penumpang sepeda motor yang kita pinjam dari kawan kita kemudian menyantel dalam sepion pengendara lain di dekat kita, betapa malunya. Namun sungguh, ramahnya orang Surakarta yang memberi kita maaf dan senyum serta hantaran doa pada kita yang telah berbuat salah padanya. Berjalan sekitar 30 menit dengan guncangan beban ditengah, terpaan angin yang akan membawa kita melayang bersamanya ternyata menjadi pengalaman pertama kita masing-masing. Peduli logika, mengawalinya dengan membeli sepeda di Jalan Dr. Radjiman Solo, berlanjut ke Solo Grand Mall (SGM) dengan sasaran rute tak tau arahnya dan diakhiri di Taman Cerdas Solo dibarengi dengan berfoto dengan buku AKU - SJUMAN DJAYA semoga menjadi berkah hari ini dalam agenda terakhir mengerjakan tugas kuliah. Intinya, terimakasih Ema, telah menjadi teman pengukir pengalaman pertama sebagai perempuan dalam kekuatan kemandirian.

Lantas aku ingin bercerita mengenai rutinitas tahun baru yang sama sekali tak berbeda dengan biasanya. Menjadi pribadi yang kerap kali di hadapan monitor menjadikanku melewati tahun baru 2015 dalam kamar kost. Kembali menguntai sajak-sajak singkat dan coretan singkat menjadi rutinitas setiap tahun baru. Tidak ada yang berbeda dari biasanya, melihat kembang api lewat celah jendela, mendengar kebisingan kenalpot motor lewat telinga dan tidak pernah membayangkan akan bahagia di luarsana. Karena aku selalu berfikiran bahwa malam itu adalah aku yang paling merasakan bahagia. Menyendiri dalam imajinasi, bersuara lewat kata, membisu lewat lagu, memandang lewat senandung, serta berdansa lewat sajak kata. Lalu kurang apa lagi? Ini hasil sajak tahun baru 2015 yang tercipta semoga tetap menjadi modal bahagiaku selanjutnya.

#‎sajakSINGKAT‬
Aku sendiri dalam termangu
Kemudian sepi mengantarkanku pada air mata
Meski aku tak pernah merasakan luka seperti ini sebelumnya
Sadarku bahwa detik mengajakku beranjak dari pribadi awal diriku

Lalu kemudian aku merinding tersedu tanpa orang tau
Biadabnya diriku atas segala dosa yang pernah aku lewati sebelumnya
Lalu dengan doa aku berharap bisa mengobati luka
Kemudian aku menengadah mengangkat tangan lantas bersuara
Ya Allah ya Tuhanku....
Ampunilah segala perkara dosa perbuatanku
Hingga menjadikan aku hina di hadap-Mu
Dan kini anu merengek maaf dari-Mu
Di hari akhir tahun ini aku memohon ampun
Dalam tempat kesendirian yang tak terjamah peradaban
Meski tetap diiringi kebisingan suara kenalpot euvoria berlebihan
Oleh mereka yang mungkin malam ini berdalih melupakan
Pada-Mu...
Tuhan pemilik teguh kehidupan
*Debu Ambigu
‪#‎malamTERAKHIR2014‬ ‪#‎sambutSYUKUR2015‬. Semoga bisa menjadi pribadi lebih baik lagi. Aamiin

Mungkin itu beberapa behin the scene yang tidak aku lupakan. Sebenarnya banyak pengalaman luar biasa yang aku rasakan, sayangnya baru itu yang dapat aku tuliskan. Jika saja dapat aku ceritakan secara lisan aku takut akan kebablasan dan melupakan waktu yang sebenarnya memberi kita batasan. Selamat mengambil pesan dari sebuah cerita kehidupan yang tidak pernah terfikirkan. 

Umy Amanah.
Powered by Blogger.