Umy
Amanah pagi ini berjalan sekeren apa yang dia inginkan. Memakai kostum
jurnalistik dan atribut lengkap dengan ID Card melangkahkan kakinya pada
kegelapan. Kegelapan adalah sebuah suasana dimana hanya ada dalam sebuah negeri
yang sangat dia cintai, sayangnya itu bukanlah yang dirinya kehendaki.
Suatu
ketika Umy bertemu dengan seorang temannya, Endru sapaan akrabnya. Kedua sosok
seprofesi ini bertemu di depan sebuah gedung dimana kewibawaan gedungnya saja
kini telah hancur, tidak bisa membayangkan hancurnya orang-orang di dalamnya
bukan? Ah coba tinggalkan itu! Dengan perlengkapan jurnalis, keduanya duduk di
emperan jalan dengan menyantap seporsi rames yang dirasanya seperti suport
asupan tenaga pagi yang membangunkan.
Lepas
dari itu semua, ternyata mereka berdua menanti sosok kontraversi minggu ini
yang memang sebagai tranding topic pembicaraan seluruh lapisan masyarakat.
Dialog antara Umy dan Endru selepas menyantap sarapan pagipun tak terelakan.
Umy : “Masih banyak yang kayak gini nggak
ya? “
Endru : “Ah,... apanya? Bisa hancur lah negeri
kita ini.”
Umy : “Dari dulu memangnya belum hancur?”
Endru : “Yang aku lihat si setengah-setengah.”
Umy : “Apa maksudmu ini?”
Endru
: “Ah lupakan!”
Mengakhiri
pembicaraannya Endru langsung membuka note pribadinya untuk memeriksa kembali
daftar pertanyaan yang akan diajukan pada narasumber yang dia dan rekannya
tunggu-tunggu dari pagi. Tidak seperti Endru, Umy malah asyik dengan situs
pribadinya. Saat diingatkan, ternyata belum ada satu daftar pertanyaanpun yang
ada dalam note pribadi Umy. Padahal, kalian ketahui saja bahwa rekan Endru ini
yang sering dipanggil Umy kesehariannya dia selalu mengatakan impiannya menjadi
Agent Of Change.
Lewat
dunia jurnalis, Umy memang berkeinginan menjadi agen perubahan negeri ini.
Kemirisan akan apa yang ada didalamnya menjadikan hatinya berontak, kemauannya
menjadikan negeri ini lebih baik dengan jalan jurnalis yang ada dalam darahnya
memang membara. Menurutnya negeri ini bisa dirubah dengan kata-kata. Seperti
selogan jurnalisnya “Hebatnya jadi jurnalis itu bisa mengubah dunia hanya
dengan kata-kata” itu yang selalu dirinya inginkan.
Tepat
pukul 08:00 WIB dirinya dan Endru rekannya bangkit dari posisi duduk pada
awalnya. Semua rekan-rekan yang ada dalam lokasi tersebut semua berlarian dan
berhamburan tepat di pintu masuk gedung dengan embel-embel lembaga peradilan
hukum tertinggi itu. Berlari mengejar sosok yang telah kehilangan kewibawaan
memang menjadi tugasnya untuk mendapatkan apa yang masyarakat perlukan. Tepat
sekali, sebuah informasi skandal kehancuran pimpinan elit negeri ini.
Hujan
pertanyaan dari rekan-rekan seprofesinya memang mempersempit kesempatannya
untuk bertanya meski hanya satu pertanyaan. Terlebih postur tubuh dirinya yang
tidak terlalu tinggi juga menambah pelik apa yang dirinya hadapi. Tak mau
dikonfirmasi, sosok yang telah kehilangan kewibawaan itu terus dikawal polisi
menuju persinggahannya. Rekan seprofesinya mungkin banyak yang menyerah karena
tidak ada satupun kalimat yang keluar dari Hilang Wibawa, begitu kami
memanggilnya di belakang.
Saat
semua rekannya mundur dan kembali pada tempat semula sebelum tokoh kontrofersi
itu datang, Umy tetap berdiri melihat Hilang Wibawa berjalan dengan kawalan
ketat. Tanpa dibekali satu pertanyaan dalam note pribadinya, dia memberanikan
diri menanyakan satu pertanyaan.
Umy : “Pak, satu pertanyaan saja dari
saya. Apa Tuhan menangis melihat apa yang anda lakukan untuk negeri ini?”
(Teriaknya sebelum Hilang Wibawa memasuki gedung yang telah rontok
kewibawaannya itu).
Endru : “Hih kamu, itu bukan pertanyaan
seorang jurnalis lah. Yang benar saja kau ini!” (Tadah keras Endru yang waktu
itu masih berdiri bengong disampingnya).
Saat
mendengar ada pertanyaan seperti itu, semua rekan profesinya menengok heran.
Tak ada pertanyaan seperti itu sebelum-sebelumnya. Semua rekan profesinya
kembali gencar menyoroti Hilang Wibawa dengan perlengkapan jurnalisnya.
Terlihat memang putaran kepala sekitar 1300 Hilang Wibawa, mungkin
karena heran atau merasa bersalah. Entahlah, karena Umypun tak sadar bahwa
pertanyaan yang dia lontarkan telah membuat semuanya terkejut.
Jepretan
flash kamera terus menyoroti dirinya dan sang tokoh kontrafersi Hilang Wibawa.
Semua jurnalis yang ada disitu berinisiatif bahwa jika kejadian tersebut
diberitakan akan menjadi berita terpopuler seketika itu juga. Sayangnya, dari
semua ketidaksengajaan apa yang terjadi di luar pintu masuk berkaca itu, Hilang
Wibawa kemudian meneruskan langkahnya untuk memasuki gedung yang memang sebagai
tempat dirinya bekerja semula.
Semua
awak media kini menyoroti dirinya, penasaran kenapa sampai keluar satu
pertanyaan yang mematikan. Kini profile pribadinya muncuk dimana-mana sebagai
headline berita dan lainnya. Banyak memang yang menyoroti kalimat pertanyaan
Umy pada hari itu, sorotan pendapat dari berbagai kalanganpun bermunculan. Saat
dirinya semakin buming menyaingi tokoh kontrafersi Hilang Wibawa, banyak orang
berpendapat bahwa jarang sekali seseorang berfikir sebuah pertanyaan
pemberitaan mengaitkannya dengan Tuhan.
Setelah
kejadian itu, Endru datang ke ruang kerjanya. Seperti biasanya, terlihatlah
sosok sederhana di depan monitor kerjanya.
Endru : “Gila, jadi tranding topic pekan ini.”
Umy : “Ah biasa aja, nggak ngaruh buat aku
sebelum ada jawaban tuh dari Hilang Wibawa.” (Jawabnya sembari mengupdate situs
pribadinya).
Endru : “Sial, kaya gini kamu pikir biasa aja?”
Umy : “Iyalah, semua masih biasa sebelum
ada perubahan di negeri tercinta ini.”
Endru : “Aku yakin, sebentar lagi bakalan ada
perubahan dari kata-kata kamu, seperti opsesimu.”
Umy : “Masih inget prinsip jurnalis aku?”
Endru : “Iyalah, gini kan Hebatnya Jurnalis Itu
Bisa Mengubah Dunia Hanya Dengan Kata-Kata.”
Umy : “Exactly, itu inginku. Eitz,... tapi
sebelum mengubah negeri ini dan dunia aku hanya sedang berusaha mengubah diriku
sendiri.”
Endru : “Nggak lama lagi kamu pasti bakal
mengubah negeri ini, dengan kata-katamu itu. Hahaha,...” (candanya).
Benar,
tak lama setelah perbincangan keduanya, Umy menjadi sosok fenomenal negeri ini,
banyak diundang sebagai narasumber atas apa yang telah dia keluarkan lewat
kata-kata. Tak terpikir sebelumnya bahwa Umy akan menjadi seseorang yang punya
segudang jadwal undangan seperti sekarang ini, berbeda dengan jadwal
kesibukannya dengan jadwal mengejar-ngejar berita. Kini khalayak menerima baik
apa yang dia lakukan, banyak sekali yang mengapresiasi dengan baik.
Menjadi
sosok fenomenal dan sedikit merubah negeri ini dari para Hilang Wibawa memang
menjadikannya banyak menerima penghargaan, diantaranya yang hari ini akan dia
terima. Penghargaan sebagai Tokoh Muda Inspirasi Negeri. Saat nama lengkapnya
dipanggil untuk menuju podium, dengan teriakan Umy Amanah. Sayangnya banyak
yang aneh, Umy merasa dia tidak disambut baik, seperti ini.
Ibu : “Umy, Umy, Umy,..... Bangun, bangun,
bangun! Setiap kali liburan sekolah, kamu selalu bangun jam 10. Cepet bangun!”
(Teriak ibunya marah-marah membangunkan).
Umy : “Aaaaghhhhhhhrrrrrrr...... Mamah,
sebentar lagi aku mau jadi Tokoh Inspirasi Negeri ini, kenapa mamah bangunkan
aku?” (Kekecewaannya mendalam karena gagal mendapatkan piala tokoh inspirasi
yang sebentar lagi akan diberikan pada dirinya dalam mimpi).
Ibu : “Oh ternyata kamu lagi mimpi?
Kebanyakan tidur si, liat udah jam 10, cepat bangun, mandi!”
Umy : “Mamaaaaaaaaaaah...... AKU BENCI
DIBANGUNKAN!” (Marahnya Umy pada Ibunya yang membangunkannya dari mimpi
terindahnya).
Beranjak
dari tempat tidurnya, Umy lekas melakukan apa yang Ibunya perintahkan. Terlepas
dari kemalasannya, Umy tetap anak perempuan yang menurut pada Ibunya. Meskipun
dirinya sangat marah pada Ibunya karena telah membangunkannya dari mimpi
terindahnya, namun hanya sesaat. Karena dirinya telah bersyukur bisa merasaakan
menjadi apa yang dia inginkan di dalam mimpinya. Umy percaya bahwa masa depan
yang besar dalam hidupnya berasal dari sebuah mimpi yang menjadikan kita
berusaha untuk merealisasikan mimpi itu.
THE
END
(Umi
Amanah)
Facebook
: Umy Amanah / www.facebook.com/UmyAmanah26
Twitter
: @Umy_Amanah26 / www.twitter.com/Umy_Amanah26
E-mail
: umiamanah26@gmail.com
Blog
: www.umiamanah.blogspot.com