Sengatan matahari siang ini sungguh menghitamkan kulit. Terlebih dibarengi dengan perasaan hati yang sedang terbakar akan perasaan. Sedianya aku hanya ingin pergi ke perpustakaan, tapi pandangan mataku seolah salah aku arahkan. Alisku menikam tajam dengan mata yang kian terciutkan. Jika orang lain melihat ini, pastilah mereka hanya berfikir bahwa aku hanya sedang mengurangi banyaknya cahaya yang memasuki pupil mata.
Tiada orang kira bahwasannya sebenarnya aku sedang memandang sesuatu yang menyakitkan. Ialah memandang cinta, bukan milikku, bukan milik siapa, tapi perihal prinsip sekaligus pobia. Aku tenteng buku tipis yang kata orang di dalamnya adalah kata-kata puitis. Sesekali aku lihat cover buku yang kata orang membaca itu menjadikan kita terbawa ambigu. Lalu aku berjalan berirama fatamorgana yang menemani langkah keragu-raguan hati menuju tempat di depan sana. Sekilas terlintas untuk tidak mendekati apa yang tersaji di hadapan mata. Tapi mau bagaimana lagi, dua hari sudah aku melewati batas waktu pengembalian buku karangan penyair yang sangat terkenal tempo dulu. Sudah terfikirkan bukan, akan denda yang harus aku bayarkan karena kemalasan mengembalikan sesuatu yang bukan milikku. Atau sebenarnya aku hanya tidak ingin mengembalikan buku itu karena ketidakbosanan diriku mengulang-ulang syair pujangga yang sangat luar biasa. Entahlah, itu masih menjadi PR yang kesulitannya mengalahkan tugas yang diberikan dosen.
Aku tapaki jalan yang belum selesai direnovasi. Rasanya sungguh terjal, layaknya perasaan hati yang tersayat-sayat melihat panorama cinta di hadapan muka. Sebenarnya bukan sedang iri melihat dua sejoli memadu rasa dengan sangat di dukung suasana. Tapi lebih pada bercermin pada diri akibat kebanyakan membaca puisi cinta.
"Hay,... apa yang kau fikirkan? Ayok kita pulang!"
Suara bising itu sungguh mengagetkanku, tapi aku bersyukur sejelek apapun suaranya akhirnya menyadarkanku bahwa pengembalian buku yang tadi aku tenteng ternyata telah usai. Dalam perjalanan pulang, telingaku seolah tersumpal oleh renungan. Tak aku hiraukanlah dia, temanku yang sedang berbicara melebihi dosen yang melakukannya. Renunganku sepanjang perjalanan sebenarnya aneh, diantaranya seperti ini, mungkin karena akibat kebanyakan membaca syair-syair pujangga awalnya aku ingin jadi pujangga. Tapi sayangnya teman-temanku sudah menilaiku sebagai pujangga akibat tulisan yang aku posting di media sosial pribadiku.
"Nggak turun? Udah nyampe nih. Apa mau aku labasin ke kostku?"
Kembali aku terkaget, lamunanku ternyata mematikan alat indera. Diantaranya telinga yang tidak bisa mendengar tabuhan kenalpot sekaligus jeritan rem motor temanku. Tidak hanya itu, mata inipun hanya terbuka tapi entah apa yang terrekam di dalamnya. Terlebih hati yang semakin mati memikirkan perihal cinta.
Aku tapaki tangga pesakitan, mungkin karena jarak antaranak tangga yang berjauhan. Ah,... kembali aku pada lamunan. Banyak sekali pertanyaan mengenai diriku. Tapi jika aku bertanya dan yang menjawab adalah orang yang sama apa itu tidak gila namanya? Aku ambil kunci untuk membuka rumah keduaku. Ada sedikit berisik yang tercipta dari kunci yang sedang berjuang agar pintu itu bisa terbuka. Aku buka sepatu beserta kaos kaki yang belum aku ganti sejak empat hari yang lalu. Kurehatkan badan ini pada tempat tidur yang hanya muat untuk satu penghuni yaitu diriku.
"Katanya kamu pujangga? Emang bener?"
"Katanya kamu sedang memiliki cinta untuk sang pria yang kau cinta semenjak masa sma, apa iya?"
"Kenapa sampai sekarang dia belum mengetahui cintamu?"
"Apa kau belum mengatakan perihal rasamu padanya?"
"Katanya kau pujangga?"
"Apakah aku harus memanggilmu Pujangga Yang Tak Bisa Berkata Cinta?"
Booomb, aku banting telepon genggam yang selama aku berrehat berada di atas perut untuk menyadarkanku dari lamunan yang kembali mematikan diriku. Kekesalanku memuncak tatkala pertanyaan-pertanyaan itu tiada bisa aku elak. Seketika cermin kecil yang berada di atas meja ku ambil dengan penuh bara. Cermin datar dengan bayangan yang seharusnya nyata ternyata tidak terjadi pada waktu aku berkaca. Aku lihat, yang ada di dalam cermin lebih baik daripada aku yang sedang menampakkan pribadi buruk rupa dihadapan cermin tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.
"Sudahlah, jangan kau salahkan dirimu hanya karena cinta. Kau tiada berbeda, buktinya kau memiliki cinta dan rasa pada orang yang kau suka! Kau benar-benar pujangga menurutku, karena kau bisa menuliskan segala perasaanmu lewat kata yang belum tentu semua orang bisa menerjemahkannya, termasuk orang yang kau suka. Itulah sebenarnya yang membedakan dirimu dibanding lainnya."
Ucap sosok dalam cermin yang sangat mirip denganku, namun seketika sosok itupun hilang. Tinggallah sosok buruk rupa yang lekas pudar menjadi apa adanya dia sejatinya. Menawan dengan segala cinta yang dia sembunyikan hingga suatu saat akan ada seseorang yang tersadarkan sebagai pemilik cinta yang tersimpan.
Umy Amanah