Wednesday, March 11, 2015

Cerpen : Pujangga Yang Tak Bisa Berkata Cinta

Cerpen : Pujangga Yang Tak Bisa Berkata CintaSengatan matahari siang ini sungguh menghitamkan kulit. Terlebih dibarengi dengan perasaan hati yang sedang terbakar akan perasaan. Sedianya aku hanya ingin pergi ke perpustakaan, tapi pandangan mataku seolah salah aku arahkan. Alisku menikam tajam dengan mata yang kian terciutkan. Jika orang lain melihat ini, pastilah mereka hanya berfikir bahwa aku hanya sedang mengurangi banyaknya cahaya yang memasuki pupil mata.

Tiada orang kira bahwasannya sebenarnya aku sedang memandang sesuatu yang menyakitkan. Ialah memandang cinta, bukan milikku, bukan milik siapa, tapi perihal prinsip sekaligus pobia. Aku tenteng buku tipis yang kata orang di dalamnya adalah kata-kata puitis. Sesekali aku lihat cover buku yang kata orang membaca itu menjadikan kita terbawa ambigu. Lalu aku berjalan berirama fatamorgana yang menemani langkah keragu-raguan hati menuju tempat di depan sana. Sekilas terlintas untuk tidak mendekati apa yang tersaji di hadapan mata. Tapi mau bagaimana lagi, dua hari sudah aku melewati batas waktu pengembalian buku karangan penyair yang sangat terkenal tempo dulu. Sudah terfikirkan bukan, akan denda yang harus aku bayarkan karena kemalasan mengembalikan sesuatu yang bukan milikku. Atau sebenarnya aku hanya tidak ingin mengembalikan buku itu karena ketidakbosanan diriku mengulang-ulang syair pujangga yang sangat luar biasa. Entahlah, itu masih menjadi PR yang kesulitannya mengalahkan tugas yang diberikan dosen. 

Aku tapaki jalan yang belum selesai direnovasi. Rasanya sungguh terjal, layaknya perasaan hati yang tersayat-sayat melihat panorama cinta di hadapan muka. Sebenarnya bukan sedang iri melihat dua sejoli memadu rasa dengan sangat di dukung suasana. Tapi lebih pada bercermin pada diri akibat kebanyakan membaca puisi cinta.

"Hay,... apa yang kau fikirkan? Ayok kita pulang!"

Suara bising itu sungguh mengagetkanku, tapi aku bersyukur sejelek apapun suaranya akhirnya menyadarkanku bahwa pengembalian buku yang tadi aku tenteng ternyata telah usai. Dalam perjalanan pulang, telingaku seolah tersumpal oleh renungan. Tak aku hiraukanlah dia, temanku yang sedang berbicara melebihi dosen yang melakukannya. Renunganku sepanjang perjalanan sebenarnya aneh, diantaranya seperti ini, mungkin karena akibat kebanyakan membaca syair-syair pujangga awalnya aku ingin jadi pujangga. Tapi sayangnya teman-temanku sudah menilaiku sebagai pujangga akibat tulisan yang aku posting di media sosial pribadiku.

"Nggak turun? Udah nyampe nih. Apa mau aku labasin ke kostku?"

Kembali aku terkaget, lamunanku ternyata mematikan alat indera. Diantaranya telinga yang tidak bisa mendengar tabuhan kenalpot sekaligus jeritan rem motor temanku. Tidak hanya itu, mata inipun hanya terbuka tapi entah apa yang terrekam di dalamnya. Terlebih hati yang semakin mati memikirkan perihal cinta. 

Aku tapaki tangga pesakitan, mungkin karena jarak antaranak tangga yang berjauhan. Ah,... kembali aku pada lamunan. Banyak sekali pertanyaan mengenai diriku. Tapi jika aku bertanya dan yang menjawab adalah orang yang sama apa itu tidak gila namanya? Aku ambil kunci untuk membuka rumah keduaku. Ada sedikit berisik yang tercipta dari kunci yang sedang berjuang agar pintu itu bisa terbuka. Aku buka sepatu beserta kaos kaki yang belum aku ganti sejak empat hari yang lalu. Kurehatkan badan ini pada tempat tidur yang hanya muat untuk satu penghuni yaitu diriku. 

"Katanya kamu pujangga? Emang bener?"
"Katanya kamu sedang memiliki cinta untuk sang pria yang kau cinta semenjak masa sma, apa iya?"
"Kenapa sampai sekarang dia belum mengetahui cintamu?"
"Apa kau belum mengatakan perihal rasamu padanya?"
"Katanya kau pujangga?"
"Apakah aku harus memanggilmu Pujangga Yang Tak Bisa Berkata Cinta?"

Booomb, aku banting telepon genggam yang selama aku berrehat berada di atas perut untuk menyadarkanku dari lamunan yang kembali mematikan diriku. Kekesalanku memuncak tatkala pertanyaan-pertanyaan itu tiada bisa aku elak. Seketika cermin kecil yang berada di atas meja ku ambil dengan penuh bara. Cermin datar dengan bayangan yang seharusnya nyata ternyata tidak terjadi pada waktu aku berkaca. Aku lihat, yang ada di dalam cermin lebih baik daripada aku yang sedang menampakkan pribadi buruk rupa dihadapan cermin tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

"Sudahlah, jangan kau salahkan dirimu hanya karena cinta. Kau tiada berbeda, buktinya kau memiliki cinta dan rasa pada orang yang kau suka! Kau benar-benar pujangga menurutku, karena kau bisa menuliskan segala perasaanmu lewat kata yang belum tentu semua orang bisa menerjemahkannya, termasuk orang yang kau suka. Itulah sebenarnya yang membedakan dirimu dibanding lainnya."

Ucap sosok dalam cermin yang sangat mirip denganku, namun seketika sosok itupun hilang. Tinggallah sosok buruk rupa yang lekas pudar menjadi apa adanya dia sejatinya. Menawan dengan segala cinta yang dia sembunyikan hingga suatu saat akan ada seseorang yang tersadarkan sebagai pemilik cinta yang tersimpan.

Umy Amanah

Cerpen : Jadi Napas? Aku Tidak Mau

Cerpen : Jadi Napas? Aku Tidak Mau
Sungguh hari ini aku mengakui bahwa sebuah lagu benar-benar bisa menghipnotis pendengarnya. Salah satunya saya, yang seminggu ini sedang tergila-gila mendengarkan tangga lagu laptop pribadi saya. Terlebih lagi saya sedang suka lagu melo yang sejujurnya bukan selera saya, mau bagaimana lagi, mungkin juga karena didukung perasaan hati. 

Alah, sedang berbicara apa sebenarnya aku ini. Berlanjut dengan lagu-lagu yang syairnya mengharuskanku untuk diam menjadikan bising di luar sana benar-benar tiada sedikitpun aku dengar. Ada beberapa lagu yang merasuk dalam relung kalbu, itulah lagu yang memiliki syair napas dalam hidup.

Pengibaratan kita akan sebuah napas kehidupan sejujurnya sedang menghipnotis diriku. Tapi kenapa tiba-tiba aku terdiam, merenung, dan lama-lama aku tak sudi menjadi napas. Petir apa yang seketika menyambar nuraniku untuk menafsirkan sebuah napas kehidupan. Hatiku seketika bertolak untuk mengibartkan bahwa aku adalah napas untuk yang mencintaiku. Adakan yang mencintaiku? Itu tidak perlu aku jawab sebenarnya.  

Akan aku ceritakan ketidakmauanku menjadi napas kehidupan adalah hanya karena aku tidak mau seperti napas. Karena menurutku, napas ibarat sesuatu yang tidak akan pernah kembali pada orang yang telah menghembuskannya. Padahal, orang yang menghirup napas adalah orang yang atas seizin-Nya diberi kehidupan lantaran kita (napas) dan dengan itu tentu saja kita harus siap untuk kehilangannya dan tanpa dia sadari dia pula harus siap kehilangan kita (napas) padahal dia berkata bahwa kita adalah yang dicinta. Kehilangan hanya dengan waktu yang singkat kala kita telah memberikan hidup untuk dia yang mencintai kita dengan tanpa sadar harus acap kali siap kehilangan orang yang katanya paling dia cinta. Itu saja, 

Umy Amanah

Cerpen : Saat Dia Adalah Kamu

Cerpen : Saat Dia Adalah KamuTombak tatapan sepasang mata wanita yang duduk di sebelah sana sungguh menakutkan. Terlebih tatapannya yang ditujukan untuk mega yang menaunginya sore ini. Apa itu adalah sebuah protes akan gerimis atau guyuran hujan yang tiada diturunkan sore ini? Entahlah akupun tiada mengetahui. Aku geluti gelagatnya dengan berpura-pura sedang membaca buku pesona kata. 

Sesaat lirikanku kembali mengarah pada wanita yang ternyata sedang menunggu dering alat komunikasi yang dimilikinya. Wajahnya tertunduk tiada kutau, kursi yang sesekali berbunyi karena kecemasan dari yang menduduki, hingga angin mengiringi dengan bertiup kencang seperti hembusan nafas yang wanita itu keluarkan.  

Kriiiiiiinggggg,..... Tiba-tiba telepon wanita itu berbunyi. Segala bentuk persiapanpun dilakukan wanita itu sekedar hanya untuk mengangkat telepon yang sudah bergetar beberapa kali. Senyum manis terlihat dari wajahnya, sungguh itu mempersulit diriku untuk menafsirkan siapa sebenarnya yang menelfon wanita yang sedari tadi kupandangi penuh rasa ingin tau. 

Sejenak aku menunduk untuk kembali melanjutkan membaca buku bacaan yang aku kesampingkan. Sayangnya tiba-tiba suara wanita itu terdengar sampai ke tempatku. Buku yang aku pegang seolah bergetar tanpa ada gempa sebelumnya. Mataku berkedip untuk bersiap memandang dalam waktu yang lama, mulutku diam tak bersuara hingga telingaku kupasang awas-awas untuk menguping pembicaraannya.

Ternyata wanita itu sedang berkomunikasi dengan seorang pria. Banyak sekali perbincangan yang mereka lakukan hingga bungan sore menutuppun tiada wanita itu ketahui, kemudian langit yang berubah pekatpun tiada wanita itu hiraukan hingga dirinya tersadar bahwa waktu malam telah menjelang kala lampu samar penerang balkon itu oleh temannya dihidupkan.  

Pengakhiran sebuah perbincangan hanya mereka akhiri dengan salam perpisahan. Kembali kulihat wajah lesu tanpa gairah kehidupan, badan yang disenderkan pada kursi yang selalu berbunyi penuh beban. Sayangnya aku tak bergegas menyimpulkan, karena seketika wanita itu berbicara sendiri. Kukuping isi pembicaraannya, namun saat aku mengetahui ringkas cerita perbincangan wanita itu dengan seorang pria yang baru saja menelponnya sunggu tak ingin sebenarnya aku mendengarkan. Jujur saja ternyata sangat mengharukan. 

Aku dengar wanita itu berbicara sendiri dengan lirih " Meski hanya sebentar kita berucap mengenai ini itu, tentang dia yang aku suka dan tentang dia yang kamu punya. Betapa terlukanya aku saat harus menggunakan kata ganti dia yang sebenarnya adalah dirimu, seseorang yang selalu membuatku memiliki cinta tanpa kau tau bahwa yang selalu aku ceritakan DIA adalah KAMU". Begitulah ringkas cerita yang mampu telingaku rekam meski sebenarnya sangat menyakiti telinga. Bukan tentang suaranya, tapi perihal cintanya yang begitu luar biasa. Mampu terluka tatkala waktu masih belum mengizinkan akan cinta yang nantinya diketahuinya (sang pria). Selamat berjuang dengan cintamu yang sebenarnya menyakitimu wahai wanita, ingin sekali kusampaikan rasamu pada si pria itu hingga pria itu tersadar betapa beruntungnya dia memiliki cinta darimu.

Selamat membaca

Umy Amanah

Sajak Kalong Edisi #1, Usai

Umy AmanahMaaf, aku baru saja menyempatkan waktu untuk memberitahumu. Sebenarnya sejak dari Selasa, 24 Febuari 2015 kumpulan puisi yang aku namai Sajak Kalong Edisi #1 telah aku selesaikan. Bukan karena kebosanan, tapi aku mencoba untuk menulis sesuatu yang baru. Meskipun masih tetap dalam genre atau jalur yang sama, yap betul sekali tetap dalam puisi. Entahlah kenapa aku sangat mencintai genre ini. Mungkin karena semakin kesini aku semakin ambigu. Asal jangan menganggap perilakuku ambigu saja, karena menurut saya keambiguan itu lebih pada kata yang keluar dari pemikiran fana mahasiswa sastra. 

Ah apapun alasannya aku hanya ingin sekedar berbagi cerita. Sejujurnya aku ingin berterimakasih pada Tuhan, tentunya yang telah mengizinkan semua ini menjadi realita. Lagipula aku tidak suka saat semua hanya berada dalam dunia maya, fana apalagi pikiran belaka. Eh,... sebersit aku teringat kata-kata dari seseorang yang sangat menginspirasi, dia itu Bangkit Wismo. Dalam twitternya tertera "Aku ingin menjadi seperti apa yang aku pikirkan" dibawah singkatan nama yang sungguh melegenda @bang_immo. Terimakasih bang, kata-katamu menjadi salah satu spirit dalam hidupku. Selanjutnya aku juga ingin berterimakasih pada keluarga atas segala doa dan semuanya, hingga aku bisa bertemu dengan orang-orang baik di luar sana. Pertemuan itu membawaku menapaki realita luar biasa yang aku rekam lewat kata. Dengan segala rekaman itu aku goreskan pada kertas lewat pena. Hingga akhirnya sekitar 132 sajak teruntai dengan sendirinya, kunamai Sajak Kalong agar lebih bisa diterima semua kalangan pembaca. Selain itu, sebenarnya nama itu adalah pemberian kakakku tercinta karena kebiasaanku yang setiap malam jarang sekali menutup mata hanya untuk menemani kata. 

Kini, aku memulai lagi dari pertama. Memulai segalanya yang aku harapkan akan ada akhirnya. Semakin ambigu diriku, semakin sakau aku ingin menulis semua perjalanan realita di atas kerak bumi yang aku tapaki dengan payung langit yang tiada pernah aku ketahui luasnya. Kunamai perjalanan saya menuju kata edisi kedua ini dengan "*Debu Ambigu". Alasannya simpel saja, karena aku mengagumi debu, betapa bebasnya dia di luar sana tapi sangat agung kala digunakan sebagai diksi bahasa yang kembudian dipadukan dengan keambiguan pemikiranku pada realita hidupku. Itu saja, 

Sampai berjumpa di akhir edisi kedua versi perjalanan saya menuju kata *Debu Ambigu.

Umy Amanah

Powered by Blogger.