Sunday, March 22, 2015

Lagu, Seperti Itulah Aku

Lagu, Seperti Itulah Aku
Sekarang-sekarang ini aku sedang aneh, lebih suka mengamati sesuatu yang tiada pernah aku lihat sebelumnya. Hal kecil yang sering aku lewati ternyata menarik juga. Salah satunya yang tiba-tiba saja menghentakan pikiranku di pagi-pagi buta seperti sekarang. Tepat sekali, lagu, itulah sesuatu yang barusan sungguh menggelitik jariku untuk menulis sesuatu. 

Sudah sekitar empat tahun aku suka mendengarkan lagu. Awalnya aku dengar biasa lewat speaker laptop pribadiku, namun lama kelamaan aku lebih suka mendengarkannya lewat hedset yang acap kali nyangkut di kedua telingaku. Alasannya simpel saja, menurutku agar lebih terhanyut dalam lantunan syair kehidupan yang dinyanyikan beriringan orkestra dunia. 

Waktu yang paling sering aku habiskan untuk mendengarkan lagu biasanya dimulai saat malam kian memekat hingga fajar pagi mulai mengabani. Sebenarnya karena menurutku, waktu-waktu seperti itu waktuku saat sendiri dan tiada yang mampu mengusik selain sepi, hening, dan segala yang tiada pernah orang lain punyai. Seperti pagi ini, aku telah mulai mendengarkan lagu sejak pukul 20:00 WIB kemarin, dan kini sudah menunjukan pukul 01:00 WIB. Berarti jika dihitung sudah lima jam aku mendengarkan banyak lagu. 

Ada sekitar 800 lagu tersimpan dan terdaftar di aplikasi pemutar lagu. Beberapa lagu aku ulang-ulang hingga tak pernah bosan. Anehnya, setelah sekian lama mendengarkan lagu dari malam hingga pagi buta, barusan aku baru tersadar akan satu hal. Iya,... Itulah lagu, seperti itulah diriku. Ternyata meski aku mengatur volume yang sama dari awal aku memutar lagu hingga sekarang yang sedang aku dengarkan, suaranya berubah. Menurutku, ini seperti diriku bahwa semakin kita larut dalam lantunan lagu dan semesta yang mengijinkan malam menjadi saksi bisu. 

Aku seperti lagu, dimana kala pagi datang diriku semakin tak terhindarkan untuk berteriak. Kesannya memang berteriak, tapi bagaimana bisa jika volumenya saja sama dengan pertama kali aku memutarnya. Berbeda dengan malam ataupun siang, yang suaraku bahkan sama sekali tak terdengar oleh kebisingan manusia yang berdalih menjalani kewajiban dunia. Setelah semuanya yang aku lewati, ternyata aku baru sadar bahwa lagu adalah cerminan diriku. Dimana semakin malam hingga pagi, lagu yang aku dengarkan semakin keras meski dalam volume yang sama. Seperti itulah diriku, semakin malam hingga menjelang pagi ternyata aku semakin berteriak meski tetap pada volume yang sama.

Kemudian aku tersadar, inilah kebesaran malam hingga pagi yang begitu luar biasa. Mampu mendengarkan sesuatu yang siang tak bisa memberikannya. Hingga malam dan sunyi lebih menghargai kita-kita, diantaranya aku dan lagu yang berdawai dan besuara merdu lewat sanubari tanpa banyak yang tau. 

Umy Amanah

Benarkah Aku Jatuh Cinta?

Benarkah Aku Jatuh Cinta?
Pertanyaan itu jujur saja beberapa minggu terakhir ini menghantui diriku secara rutin. Lebih menakutkan dari cerita mistik atau horor lainnya. Bagaimana tidak, pertanyaan itu muncul kala aku merasa aku sudah kehilangannya. Iyalah pria yang membuatku kembali merasakan rasa yang berbeda setelah sekian lama. Awalnya aku hanya bertaruh dengan diriku bahwa aku hanya terbawa perasaan saja, namun waktu kembali memukau dengan realita yang berbeda. 

Pendekatan semenjak dua tahun lalu sepertinya bukan waktu yang singkat. Bedanya, dua tahun lalu aku menganggap itu hanya sebatas silaturahmi antara teman yang dulu berada di sekolah yang sama. Sekarang, mau bagaimana jika perasaan telah berkecimuk dan muncul sesuatu yang berbeda. Apa aku hanya kepedean semata? Tapi kenapa engkau membuatku terlalu pd dibanding yang lainnya? Entahlah, apa ini salah satu program kerjamu menyakiti wanita, atau aku yang salah mengartikan semua yang engkau lakukan? Ah pusing sekali jika dipikirkan. 

Jujur saja akhir-akhir ini aku merasa kecewa. Tapi kecewa karena siapa? Kecewa karena apa? Kecewa bagaimana? Hak apa untuk kecewa? Apa aku harus menjawab kecewa karenamu, lantas apa peduli kamu yang bukan siapa-siapanya diriku. Kemudian aku harus menjawab, kecewa karena kau tak pernah mengungkapkan pertanyaan yang jawabannya telah aku siapkan, lantas apa yang harus kamu pertanyakan jika jawaban yang aku persiapkan hanya kesalah pahaman. Lalu aku kecewa bagaimana, kecewa karena engkau tak pernah memberi kejelasan bagaimana kita, bagaimana kelanjutannya, bagaimana semua, ah aku benci paling kau memikir jawabannya tiada kau ketahui. Terakhir kali aku kecewa karena hakku tiada pantas untuk meminta kau mencintaiku. Itu saja,

Umy Amanah

Saturday, March 14, 2015

Sebentar Lagi, Aku Yang Akan Ditinggalkan

Sebentar Lagi, Aku Yang Akan Ditinggalkan
Malam ini sebenarnya aku hanya sedang merenung. Banyak yang aku buka kala modem telah terkoneksi dengan laptop yang sedari siang belum mati. Pertama, aku buka akun facebook pribadiku yang aku buat sekitar lima tahun yang lalu. Sudah pukul 12:49 AM, rasanya tidak pantas jika aku harus berbincang banyak, maka singkat saja. Akun facebook milikku memang memiliki teman terbanyak dibanding akun-akun lainnya. Hampir mencapai 2.000 teman jika dilihat dalam daftarnya, tapi kenapa malam ini hingga dini hari semuanya tersa begitu sepi. Apa ini efek dari malam Minggu? Namun sepertinya bukan, karena realitanya sebagian besar temanku sudah mulai meninggalkan facebook sejak dua tahun yang lalu. 

Kedua, aku kembali membuka akun pribadiku, twitter. Melihat timeline twitterku seraya semakin menyakitkan. Lalu-lalang reetwitt hanya oleh mereka yang sangat tergila-gila dengan artis Korea. Milikku, boleh dikatakan mati suri tanpa ada adminnya. Hanya sekedar ingin nge-twitt saja saya bingung, mungkin karena keterbatasan karakter, alah itu hanya alasan saya. Semakin lama membuka twitter semakin kelihatan aku seperti mayat hidup. Melongo di depan motitor dengan kebingungan yang terpatri di muka yang sebenarnya penuh pesona. Harus aku sadari sebenarnya, bahwa followersku telah meninggalkan twitter sekitar setahun yang lalu. Lalu harus dengan siapa aku berbincang? Dengan mereka yang aku follow? Mereka saja hanya menganggapku fans, mungkinkah? Entahlah.

Solusi akhirnya, saya mencoba membuka Blackberry Messenger (BBM). Awalnya rame, mungkin karena ini habitat baru dari perpindahan facebook dan twitter. Sayangnya, barusaja aku memuji malah kembali akunku redup kembali. Tiada pemberitahuan yang menanti untuk aku buka, apalagi mengharapkan ada yang mengontakku dengan sengaja, mustahil namanya. Dalam kontakku saja, sebenarnya hanya orang-orang terpilih yang ada di dalamnya. Kalo saja boleh aku katakan, beruntunglah kalian yang di kontakku ada namanya, berarti kalian orang-orang terpilih saya. Hahahahaha........ Tertawa sekedar menghibur diri saja. Belum genap saya katakan ini malam, aktifitas pm sudah tiada terbaharui semua. Aku fikir, setahun kedepan hal ini bakalan tiada aku jumpai lagi layaknya mati suri. 

Setelah membuka ketiga akun paling buming di dunia. Sebersit terlintas dalam benak, facebook yang bisa memberi kita teman yang luar biasa banyaknya saja bisa ditinggalkan, apalagi twitter yang kadang mengintimidasi dengan kesenjangan para fans yang mengikuti. Awalnya aku kira bbm akan bertahan lama dalam perbincangan karena sedikit agak lebih privasi, namun jika boleh aku katakan entah itu facebook, twitter, dan bbm semuanya sama saja. Akan ada saatnya, sesuatu yang berarti untuk kita itu ditinggalkan, tidak terkecuali diriku.

Pantai Pok Tunggal : Pesona Selatan Yogyakarta

Pantai Pok Tunggal Yogyakarta
Menjadi mahasiswa tingkat pertama tentunya perlu penyegaran untuk mengalihkan kepenatan pada adaptasi materi di Perguruan Tinggi. Tidak terkecuali saya dan teman-teman, meski libur semester pertama telah usai, ternyata beberapa dari kami banyak yang belum menikmati pesona keindahan yang Tuhan telah ciptakan. Hingga akhirnya beberapa dari kami memutuskan untuk keluar dari kepenatan, diantaranya Icha Latifah Hanum, Zulfah Mirda Matondang, Eky Putri Ma'rufi, Erika Primardani, Eka Kristina Anggasari, dan saya sendiri. 

Dimulai dengan aksi Icha menjemput saya di kost untuk kemudian menyambangi kost Mirda dan Eky. Sebenarnya pagi itu sedikit terganggu karena ulah salah satu dari kami. Tepat sekali, Eky pagi itu sengaja menonaktifkan ponselnya. Ternyata saat di sidak ke kostannya, dirinya masih senang bercumbu dengan air dingin alias mandi. Lupakan kekacauan, lanjut kita menata diri layaknya riders masa depan. Helm SNI, jaket tebal, penutup separuh muka, sepatu lecek khas anak sastra, dan tas yang tiada isinya menjadi barang bawaan kami semua. Dua motor melaju dengan santainya, sesantai anak-anak sekolah yang mengayuh sepeda karena bel masuk masih jauh terdengar. 

Hari itu sebenarnya kami berangkat pagi-pagi buta, itu kalau saya yang bicara, habis, biasanya kuliah pertama saja pukul setengah delapan masa kita berangkat berwisata setengah 7. Sebenarnya ada alasannya kami berangkat pagi, pertama karena belum tahu jalan, kedua karena ingin menikmati fajar pagi yang menggelora di hati, ketiga biar sampai bisa sarapan di Wonogiri. Sarapan yang telah disediakan Eka dan keluarganya menjadi tujuan utama pagi itu. 
Perjalanan yang kami lakukan dari Jebres, Surakarta menuju Wonogiri sebenarnya boleh dikatakan ngaret satu setengah jam. Maklum saja, pemandangannya sayang untuk di lewatkan. Bagaimana tidak, perlu diketahui bahwa Wonogiri adalah dataran tinggi yang menyajikan tebing-tebing dengan pesona keindahan batuan dengan diselimuti pepohonan. Sesekali atau bahkan berkali-kali kita berhenti sejenak untuk mengabadikan kuasa Tuhan yang luar biasa indahnya. Jalan yang berkelok-kelok dengan sensasi keindahan panorama di hadapan muka memang sungguh luar biasa. Perjalanan ke wonogiri layaknya perjalanan membelah pegunungan, menabrak tebing bebatuan, dan berlayar dalam waduk terbesar tanpa daratan. 

Jembatan yang mengelilingi waduk sebagai penghubung desa, kita lewati dengan pelannya. Terlebih fajar pagi itu menyoroti air waduk hingga terpancar kilauan bintang yang tiada bisa aku perhitungkan. Jarak Surakarta-Wonogiri yang seharusnya bisa ditempuh dua jam saja, oleh kami menjadi tiga jam lebih. Betapa puas rasanya bisa menikmati panorama tersembunyi di balik kerasnya tebing Wonogiri. Sesampainya di rumah Eka, Pracimantoro, sarapan pagi telah disiapkan keluarganya untuk kami yang katanya tamu dari jauh. Lauk ikan lele, pecel, rambak, tempe goreng, tahu bakso, dan kacang goreng menjadi teman nasi yang sangat ditunggu-tunggu perut kami. 

Perbincangan dalam rumah yang penuh aroma kekeluargaan kami lakukan untuk menghapus penat beberapa saat. Jujur saja, saya agak tidak suka memandang jam di hari itu. Entah kenapa jam di hari itu berjalan dengan cepatnya hingga tiba-tiba saja menunjukan pukul sepuluh. Hal itu menyadarkan kami untuk lekas berangkat ke tujuan kami dari perencanaan awal, yaitu berwisata ke pantai. Pantai yang kami tuju adalah Pok Tunggal, Selatan Yogyakarta. Jika ditempuh dari Pracimantoro yang nantinya melewati Gunung Kidul Yogyakarta sebenarnya hanya satu jam, hal itu karena Pracimantoro sebenarnya lebih dekat dengan Yogyakarta meskipun masih di Jawa Tengah. 

Jam karet kembali terulang kala kita menuju Pantai Pok Tunggal, Yogyakarta. Bagaimana tidak, perjalanan seperti semula. Apalagi ini, disuguhi keindahan perbukitan dari batuan putih khas Gunung Kidul Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, kami berada di tengah-tengah perbukitan yang tidak telalu rindang dengan pepohonan. Untuk beberapa saat sungguh sangat mengagumkan, jalan aspal yang sangat mulus menghantarkan kita menikmati indahnya undakan pohon yang seolah berlomba siapa yang lebih tinggi, bebeatuan yang dililit rumput, dan pembatas jalan yang seolah melarang kita untuk merampas keindahan Yogyakarta. Namun tiba-tiba hatiku tersayat, kala aku harus melihat satu bukit kapur yang separuh bukitnya telah hilang oleh keserakahan manusia. 

Terlihat di situ, kerasnya batu terkalahkan oleh kerasnya pemikiran manusia, cadasnya batu terpecahkan oleh alat buatan manusia, tingginya batu terkalahkan oleh tingginya keserakahan manusia, serta tangisan batu yang tiada pernah didengar manusia karena kebisingan kesibukan manusia yang selalu mengalahkannya. Sayangnya yang paling teragis adalah saat aku melihat sisa penambangan batu yang hanya dibiarkan begitu saja, hitam, melumut, rapuh, dan tiada menarik dipandang mata. Apa itu salah satu yang ditunjukkan oleh Alloh Swt. bagi kita yang melewatinya untuk selalu sadar bahwa apa yang tersedia di dunia bukan untuk dihabiskan semuanya. Entahlah, itu pelajaran yang saya ambil dari perjalanan panjang menuju surga dunia. 

Dua jam lebih kita melewati panasnya mentari dunia, kerasnya batu yang bisa dihancurkan juga, panorama indah di hadapan muka, kuliner belalang yang tersaji sepanjang jalan, hingga terakhir batuan cadas yang mengguncang menuju pintu masuk pesona Selatan Yogyakarta, tepat sekali Pantai Pok Tunggal. Akses jalan masuk yang sedang diperbaiki oleh pengelola memang membuat kami sedikit terguncang beberapa saat. Dengan tangan yang harus kuat memegang stang kendaraan, kepala yang harus selalu berkonsentrasi karena sampingnya adalah jurang yang menganga, serta penat yang terkalahkan oleh suara debur pantai yang sudah terdengar telinga. 

Tempat parkir di area wisata menjadi pemberhenti terakhir kita untuk berkendara. Terlihat hamparan pantai yang tiada bisa semua direkam oleh mata. Pasir putih yang memancarkan panorama Selatan Yogyakarta menyatu bersama birunya air laut yang dihempas angin pada tebing curam di pinggir sana, hingga garis pantai yang aku lupakan sebentar saja. Beberapa pengunjung aku lupakan sesaat, payung-payung kecil peneduh manusia yang takut pada mataharipun aku hilangkan sekejap, segarnya es kelapa muda aku hiraukan, hingga hanya syukur pada Tuhan yang berhasil aku ucapkan. 

Mulailah kami menunjukkan kepribadian masing-masing. Empat orang dari kami yaitu Icha, Eka, Eky, dan Mirda lebih senang berfoto ria. Mengabadikan semua keindahan yang bisa dijepret oleh lensa kamera. Selfie ria terjadi di sepanjang pantai sana. Bebatuan besar yang tiada pernah kalah oleh terjangan ombak menjadi beckground foto mereka. Lalu tebing yang curam menjadi salah satu bentuk ekspresi kekuatan mereka. Sinar mentari jam duabelas menjadi lighting yang belum pernah digunakan manusia sebelumnya, angin mengirimkan keindahan ombak di setiap menitnya, hingga deburan ombak terjadi kala air mengakui kekalahannya. 

Lalu bagaimana denganku? Aku hanya memilih duduk di pinggir pantai, di bawah payung peneduh yang kita sewa seharga dukali makan anak kost. Tas yang ditinggalkan mereka yang sedang berselfie ria menjadi temanku, meramaikanku, serta menemani ketakjupanku. Tidak hanya diriku, karena tepat di samping belakangku ada Erik, temanku yang sedang dirundung galau. Entahlah, permasalahan cintanya terlalu pelik untuk aku pahami. Aku lebih senang seperti ini, duduk menikmati segala yang tersaji. Meski kadang terlontar pertanyaan padaku, "Apa nggak nyesel nggak foto?" Jawabku, semua yang indah tiada harus diabadikan oleh lensa kamera, karena kadang hanya pelu hati dan diiringi pejaman mata untuk mengulang segalanya.

Aku pandangi dari jauh, terlihat garis yang memisahkan antara air dan langit. Apa itu salah satu bentuk bahwa Tuhan selalu menciptakan segalanya dengan batasan? Kemudian aku memejamkan mata, kurasakan angin yang tiada pernah terlihat oleh alat perekam terbaik di dunia yaitu mata. Apa itu pertanda, bahwa kadang seseuatu yang membuat kita hidup justru tak dilihat oleh kita? Selanjutnya aku lihat hamparan tebing nan jauh di sana. Apa itu pertanda, sesuatu yang tinggi itu letaknya jauh dengan kita, serta perlu mendekatinya dengan berlari dan bersungguh-sungguh untuk manaikinya dan berdiri di atas puncak sana? Serta aku lihat gulungan ombak yang lama-lama memudar. Apa itu pertanda, bahwa saat kita sedang diterjang prahara, kita terlalu kuat dan lekas lalai setelah selesai hingga semuanya memudar? Hingga pasir putih yang aku duduki. Apa itu pertanda bahwa sesuatu yang mati biasanya lebih mengerti kita dibanding mereka yang hidup, karena biasanya yang mati lebih tau segala yang ada dalam dada dibanding mereka?

Surutnya laut siang itu menyadarkan diriku dari lamunan. Beberapa pertanyaan yang ada dalam diri seolah memudar, menjadi hamparan karang yang terlumuti layaknya yang terlihat di depan sana selepas pasir pantai. Aku mulai memberanikan diri merasakan asinnya air yang filosofinya adalah air mata. Ku jalankan kakiku di hamparan karang yang tak rata. Aku pandangi semua yang hidup di bawah sana. Sampai sesekali aku berfoto untuk membuktikan, bahwa aku pernah ke surga dunia. Sepanjang jalan penuh pesona, hingga keterjalan jalan dalam mencapai menjadi saksinya, terbayar dengan indahnya semua yang tersaji di depan mata. Aku dan teman-temanku memulianya dari Surakarta, Wonogiri, Pracimantoro, Pok Tunggal Yogyakarta, dan yang kemudian diakhiri kembali ke Surakarta. Pejalanan setengah tujuh pagi hingga setengah delapan malam hari itu menjadi saksi bisu akan pesan-pesan yang didapat oleh setiap orang yang melakukan perjalanan. 
Pantai Pok Tunggal Yogyakarta
Pantai Pok Tunggal Yogyakarta
Pantai Pok Tunggal Yogyakarta
Pantai Pok Tunggal Yogyakarta

Wednesday, March 11, 2015

Cerpen : Pujangga Yang Tak Bisa Berkata Cinta

Cerpen : Pujangga Yang Tak Bisa Berkata CintaSengatan matahari siang ini sungguh menghitamkan kulit. Terlebih dibarengi dengan perasaan hati yang sedang terbakar akan perasaan. Sedianya aku hanya ingin pergi ke perpustakaan, tapi pandangan mataku seolah salah aku arahkan. Alisku menikam tajam dengan mata yang kian terciutkan. Jika orang lain melihat ini, pastilah mereka hanya berfikir bahwa aku hanya sedang mengurangi banyaknya cahaya yang memasuki pupil mata.

Tiada orang kira bahwasannya sebenarnya aku sedang memandang sesuatu yang menyakitkan. Ialah memandang cinta, bukan milikku, bukan milik siapa, tapi perihal prinsip sekaligus pobia. Aku tenteng buku tipis yang kata orang di dalamnya adalah kata-kata puitis. Sesekali aku lihat cover buku yang kata orang membaca itu menjadikan kita terbawa ambigu. Lalu aku berjalan berirama fatamorgana yang menemani langkah keragu-raguan hati menuju tempat di depan sana. Sekilas terlintas untuk tidak mendekati apa yang tersaji di hadapan mata. Tapi mau bagaimana lagi, dua hari sudah aku melewati batas waktu pengembalian buku karangan penyair yang sangat terkenal tempo dulu. Sudah terfikirkan bukan, akan denda yang harus aku bayarkan karena kemalasan mengembalikan sesuatu yang bukan milikku. Atau sebenarnya aku hanya tidak ingin mengembalikan buku itu karena ketidakbosanan diriku mengulang-ulang syair pujangga yang sangat luar biasa. Entahlah, itu masih menjadi PR yang kesulitannya mengalahkan tugas yang diberikan dosen. 

Aku tapaki jalan yang belum selesai direnovasi. Rasanya sungguh terjal, layaknya perasaan hati yang tersayat-sayat melihat panorama cinta di hadapan muka. Sebenarnya bukan sedang iri melihat dua sejoli memadu rasa dengan sangat di dukung suasana. Tapi lebih pada bercermin pada diri akibat kebanyakan membaca puisi cinta.

"Hay,... apa yang kau fikirkan? Ayok kita pulang!"

Suara bising itu sungguh mengagetkanku, tapi aku bersyukur sejelek apapun suaranya akhirnya menyadarkanku bahwa pengembalian buku yang tadi aku tenteng ternyata telah usai. Dalam perjalanan pulang, telingaku seolah tersumpal oleh renungan. Tak aku hiraukanlah dia, temanku yang sedang berbicara melebihi dosen yang melakukannya. Renunganku sepanjang perjalanan sebenarnya aneh, diantaranya seperti ini, mungkin karena akibat kebanyakan membaca syair-syair pujangga awalnya aku ingin jadi pujangga. Tapi sayangnya teman-temanku sudah menilaiku sebagai pujangga akibat tulisan yang aku posting di media sosial pribadiku.

"Nggak turun? Udah nyampe nih. Apa mau aku labasin ke kostku?"

Kembali aku terkaget, lamunanku ternyata mematikan alat indera. Diantaranya telinga yang tidak bisa mendengar tabuhan kenalpot sekaligus jeritan rem motor temanku. Tidak hanya itu, mata inipun hanya terbuka tapi entah apa yang terrekam di dalamnya. Terlebih hati yang semakin mati memikirkan perihal cinta. 

Aku tapaki tangga pesakitan, mungkin karena jarak antaranak tangga yang berjauhan. Ah,... kembali aku pada lamunan. Banyak sekali pertanyaan mengenai diriku. Tapi jika aku bertanya dan yang menjawab adalah orang yang sama apa itu tidak gila namanya? Aku ambil kunci untuk membuka rumah keduaku. Ada sedikit berisik yang tercipta dari kunci yang sedang berjuang agar pintu itu bisa terbuka. Aku buka sepatu beserta kaos kaki yang belum aku ganti sejak empat hari yang lalu. Kurehatkan badan ini pada tempat tidur yang hanya muat untuk satu penghuni yaitu diriku. 

"Katanya kamu pujangga? Emang bener?"
"Katanya kamu sedang memiliki cinta untuk sang pria yang kau cinta semenjak masa sma, apa iya?"
"Kenapa sampai sekarang dia belum mengetahui cintamu?"
"Apa kau belum mengatakan perihal rasamu padanya?"
"Katanya kau pujangga?"
"Apakah aku harus memanggilmu Pujangga Yang Tak Bisa Berkata Cinta?"

Booomb, aku banting telepon genggam yang selama aku berrehat berada di atas perut untuk menyadarkanku dari lamunan yang kembali mematikan diriku. Kekesalanku memuncak tatkala pertanyaan-pertanyaan itu tiada bisa aku elak. Seketika cermin kecil yang berada di atas meja ku ambil dengan penuh bara. Cermin datar dengan bayangan yang seharusnya nyata ternyata tidak terjadi pada waktu aku berkaca. Aku lihat, yang ada di dalam cermin lebih baik daripada aku yang sedang menampakkan pribadi buruk rupa dihadapan cermin tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

"Sudahlah, jangan kau salahkan dirimu hanya karena cinta. Kau tiada berbeda, buktinya kau memiliki cinta dan rasa pada orang yang kau suka! Kau benar-benar pujangga menurutku, karena kau bisa menuliskan segala perasaanmu lewat kata yang belum tentu semua orang bisa menerjemahkannya, termasuk orang yang kau suka. Itulah sebenarnya yang membedakan dirimu dibanding lainnya."

Ucap sosok dalam cermin yang sangat mirip denganku, namun seketika sosok itupun hilang. Tinggallah sosok buruk rupa yang lekas pudar menjadi apa adanya dia sejatinya. Menawan dengan segala cinta yang dia sembunyikan hingga suatu saat akan ada seseorang yang tersadarkan sebagai pemilik cinta yang tersimpan.

Umy Amanah

Cerpen : Jadi Napas? Aku Tidak Mau

Cerpen : Jadi Napas? Aku Tidak Mau
Sungguh hari ini aku mengakui bahwa sebuah lagu benar-benar bisa menghipnotis pendengarnya. Salah satunya saya, yang seminggu ini sedang tergila-gila mendengarkan tangga lagu laptop pribadi saya. Terlebih lagi saya sedang suka lagu melo yang sejujurnya bukan selera saya, mau bagaimana lagi, mungkin juga karena didukung perasaan hati. 

Alah, sedang berbicara apa sebenarnya aku ini. Berlanjut dengan lagu-lagu yang syairnya mengharuskanku untuk diam menjadikan bising di luar sana benar-benar tiada sedikitpun aku dengar. Ada beberapa lagu yang merasuk dalam relung kalbu, itulah lagu yang memiliki syair napas dalam hidup.

Pengibaratan kita akan sebuah napas kehidupan sejujurnya sedang menghipnotis diriku. Tapi kenapa tiba-tiba aku terdiam, merenung, dan lama-lama aku tak sudi menjadi napas. Petir apa yang seketika menyambar nuraniku untuk menafsirkan sebuah napas kehidupan. Hatiku seketika bertolak untuk mengibartkan bahwa aku adalah napas untuk yang mencintaiku. Adakan yang mencintaiku? Itu tidak perlu aku jawab sebenarnya.  

Akan aku ceritakan ketidakmauanku menjadi napas kehidupan adalah hanya karena aku tidak mau seperti napas. Karena menurutku, napas ibarat sesuatu yang tidak akan pernah kembali pada orang yang telah menghembuskannya. Padahal, orang yang menghirup napas adalah orang yang atas seizin-Nya diberi kehidupan lantaran kita (napas) dan dengan itu tentu saja kita harus siap untuk kehilangannya dan tanpa dia sadari dia pula harus siap kehilangan kita (napas) padahal dia berkata bahwa kita adalah yang dicinta. Kehilangan hanya dengan waktu yang singkat kala kita telah memberikan hidup untuk dia yang mencintai kita dengan tanpa sadar harus acap kali siap kehilangan orang yang katanya paling dia cinta. Itu saja, 

Umy Amanah

Cerpen : Saat Dia Adalah Kamu

Cerpen : Saat Dia Adalah KamuTombak tatapan sepasang mata wanita yang duduk di sebelah sana sungguh menakutkan. Terlebih tatapannya yang ditujukan untuk mega yang menaunginya sore ini. Apa itu adalah sebuah protes akan gerimis atau guyuran hujan yang tiada diturunkan sore ini? Entahlah akupun tiada mengetahui. Aku geluti gelagatnya dengan berpura-pura sedang membaca buku pesona kata. 

Sesaat lirikanku kembali mengarah pada wanita yang ternyata sedang menunggu dering alat komunikasi yang dimilikinya. Wajahnya tertunduk tiada kutau, kursi yang sesekali berbunyi karena kecemasan dari yang menduduki, hingga angin mengiringi dengan bertiup kencang seperti hembusan nafas yang wanita itu keluarkan.  

Kriiiiiiinggggg,..... Tiba-tiba telepon wanita itu berbunyi. Segala bentuk persiapanpun dilakukan wanita itu sekedar hanya untuk mengangkat telepon yang sudah bergetar beberapa kali. Senyum manis terlihat dari wajahnya, sungguh itu mempersulit diriku untuk menafsirkan siapa sebenarnya yang menelfon wanita yang sedari tadi kupandangi penuh rasa ingin tau. 

Sejenak aku menunduk untuk kembali melanjutkan membaca buku bacaan yang aku kesampingkan. Sayangnya tiba-tiba suara wanita itu terdengar sampai ke tempatku. Buku yang aku pegang seolah bergetar tanpa ada gempa sebelumnya. Mataku berkedip untuk bersiap memandang dalam waktu yang lama, mulutku diam tak bersuara hingga telingaku kupasang awas-awas untuk menguping pembicaraannya.

Ternyata wanita itu sedang berkomunikasi dengan seorang pria. Banyak sekali perbincangan yang mereka lakukan hingga bungan sore menutuppun tiada wanita itu ketahui, kemudian langit yang berubah pekatpun tiada wanita itu hiraukan hingga dirinya tersadar bahwa waktu malam telah menjelang kala lampu samar penerang balkon itu oleh temannya dihidupkan.  

Pengakhiran sebuah perbincangan hanya mereka akhiri dengan salam perpisahan. Kembali kulihat wajah lesu tanpa gairah kehidupan, badan yang disenderkan pada kursi yang selalu berbunyi penuh beban. Sayangnya aku tak bergegas menyimpulkan, karena seketika wanita itu berbicara sendiri. Kukuping isi pembicaraannya, namun saat aku mengetahui ringkas cerita perbincangan wanita itu dengan seorang pria yang baru saja menelponnya sunggu tak ingin sebenarnya aku mendengarkan. Jujur saja ternyata sangat mengharukan. 

Aku dengar wanita itu berbicara sendiri dengan lirih " Meski hanya sebentar kita berucap mengenai ini itu, tentang dia yang aku suka dan tentang dia yang kamu punya. Betapa terlukanya aku saat harus menggunakan kata ganti dia yang sebenarnya adalah dirimu, seseorang yang selalu membuatku memiliki cinta tanpa kau tau bahwa yang selalu aku ceritakan DIA adalah KAMU". Begitulah ringkas cerita yang mampu telingaku rekam meski sebenarnya sangat menyakiti telinga. Bukan tentang suaranya, tapi perihal cintanya yang begitu luar biasa. Mampu terluka tatkala waktu masih belum mengizinkan akan cinta yang nantinya diketahuinya (sang pria). Selamat berjuang dengan cintamu yang sebenarnya menyakitimu wahai wanita, ingin sekali kusampaikan rasamu pada si pria itu hingga pria itu tersadar betapa beruntungnya dia memiliki cinta darimu.

Selamat membaca

Umy Amanah

Sajak Kalong Edisi #1, Usai

Umy AmanahMaaf, aku baru saja menyempatkan waktu untuk memberitahumu. Sebenarnya sejak dari Selasa, 24 Febuari 2015 kumpulan puisi yang aku namai Sajak Kalong Edisi #1 telah aku selesaikan. Bukan karena kebosanan, tapi aku mencoba untuk menulis sesuatu yang baru. Meskipun masih tetap dalam genre atau jalur yang sama, yap betul sekali tetap dalam puisi. Entahlah kenapa aku sangat mencintai genre ini. Mungkin karena semakin kesini aku semakin ambigu. Asal jangan menganggap perilakuku ambigu saja, karena menurut saya keambiguan itu lebih pada kata yang keluar dari pemikiran fana mahasiswa sastra. 

Ah apapun alasannya aku hanya ingin sekedar berbagi cerita. Sejujurnya aku ingin berterimakasih pada Tuhan, tentunya yang telah mengizinkan semua ini menjadi realita. Lagipula aku tidak suka saat semua hanya berada dalam dunia maya, fana apalagi pikiran belaka. Eh,... sebersit aku teringat kata-kata dari seseorang yang sangat menginspirasi, dia itu Bangkit Wismo. Dalam twitternya tertera "Aku ingin menjadi seperti apa yang aku pikirkan" dibawah singkatan nama yang sungguh melegenda @bang_immo. Terimakasih bang, kata-katamu menjadi salah satu spirit dalam hidupku. Selanjutnya aku juga ingin berterimakasih pada keluarga atas segala doa dan semuanya, hingga aku bisa bertemu dengan orang-orang baik di luar sana. Pertemuan itu membawaku menapaki realita luar biasa yang aku rekam lewat kata. Dengan segala rekaman itu aku goreskan pada kertas lewat pena. Hingga akhirnya sekitar 132 sajak teruntai dengan sendirinya, kunamai Sajak Kalong agar lebih bisa diterima semua kalangan pembaca. Selain itu, sebenarnya nama itu adalah pemberian kakakku tercinta karena kebiasaanku yang setiap malam jarang sekali menutup mata hanya untuk menemani kata. 

Kini, aku memulai lagi dari pertama. Memulai segalanya yang aku harapkan akan ada akhirnya. Semakin ambigu diriku, semakin sakau aku ingin menulis semua perjalanan realita di atas kerak bumi yang aku tapaki dengan payung langit yang tiada pernah aku ketahui luasnya. Kunamai perjalanan saya menuju kata edisi kedua ini dengan "*Debu Ambigu". Alasannya simpel saja, karena aku mengagumi debu, betapa bebasnya dia di luar sana tapi sangat agung kala digunakan sebagai diksi bahasa yang kembudian dipadukan dengan keambiguan pemikiranku pada realita hidupku. Itu saja, 

Sampai berjumpa di akhir edisi kedua versi perjalanan saya menuju kata *Debu Ambigu.

Umy Amanah

Powered by Blogger.