Langit sore tadi tidak aku hiraukan, mega yang memerah saja tiada aku perdulikan, apalagi pekat yang mulai datang membayang lekas saja aku tendang. Aku sedang bahagia, iya aku diterima oleh salah satu perguruan tinggi luar negeri. Berbekal tulisan yang kerap kali aku postingkan, ternyata ada sedikit mata-mata yang memperhatikan. Katanya, itulah salah satu alasan.
Sedikit saja sebenarnya rasa yang aku bingungkan. Darimana aku akan memulai, bersama siapa, dan akan bagaiana? Ah, aku kembali pada bahagia. Kebingunganku dijawab Tuhan bersama realita. Aku bertemu teman SMPku, dia masih sering bercanda bersamaku. Jangan Tanya seperti apa, lewat apa, dan bagaimana! Intinya kita sama, ternyata dia juga diterima di perguruan tinggi luar negeri.
Aku sampaikan kabar bahagia ini padanya, anehnya kita diterima di perguruan tinggi satu Negara yang sama meski beda universitasnya. Raut merona terpancar dari kita berdua, seolah ada kebahagiaan di depan sana yang akan kita kejar, kita dapatkan, dan segalanya dengan kebersamaan. Iya, aku paling suka terakhirnya, secara bersama kita akan mendapatkan semuanya.
Paspor keberangkatan menuju Timur Tengah telah ada di tangan. Sekali ponsel kecilku bordering, satu pesanpun masuk.
Dia : "Aku jemput di bandara ya?"
Aku: "Iya," Lantas, hanya itu yang aku katakan padanya. Kita bersahabat telah lama, hingga kebaikan yang dia berikan tidak dapat aku maknai lain. Keberangkatan dia yang lebih dulu dariku sebenarnya membuatku sedikit bias tersenyum. Karena tanpa aku mau, dia telah menyiapkan segalanya untukku.
Tujuh jam di pesawat membuatku banyak berfikir tentang dia, iya dia sahabatku dan sahabatnya. Jujur saja, dia adalah sahabat dari laki-laki yang aku suka. Segala yang aku rasa, aku ceritakan padanya. Lama sekali aku merepotkan dirinya karena menyukai sahabantnya. Anehnya dia selalu bias mengubah tangis menjadi tawa, itu yang aku suka.
Wah, beberapa menit lagi pesawat ini akan tiba di negeri orang. Satu-satunya yang aku harapkan adalah dia yang akan menyambutku dengan kebahagiaan, perasamaan harapan, serta tujuan. Suara bising gesekan roda dengan aspal menjadi jeritan yang tiada terelakan, baling-baling pesawat mulai pelan, dan pintu kabin mulai terbuka.
Aku lihat langit biru yang dinodai awan, kakiku mulai turun perlahan menapaki anak tangga, sesaat aku berada di landasan yang menyadarkanku begitu kecil dibanding semesta. Tapi waktu itu perasaanku masih begitu besar, jika semesta bisa aku teriaki kebahagiaan yang luar biasa. Kemudian aku naiki bus yang tersedia bersama koper yang melekat di tangan.
Sampai di terminal bandara negeri entah siapa, dia ternyata sudah ada di gerombolan penjemput lainnya. Iya, dia temanku, sahabat dari pria yang aku cintai. Lambaian tangannya waktu itu membuat aku bahagia dan tenang. Karena akan ada yang bersamaku diantara jutaan orang yang tiada peduli dan mengenalku. Lntas kemudian aku menghampirinya, manatapnya dan menyapa dalam hatiku bahwa dia yang akan ada untukku.
Koper yang awalnya di tanganku kini pindah di tangan kirinya. Sambil diam kita berdua melangkah meninggalkan terminal bandara. Saat lantai-lantai yang bersih menjadi saksi langkah kita, aku takut jendela-jendela kaca bisa melihat bagaimana tangan kanannya menggandeng tangan kiriku. Melengkapi ruas yang telah lama kosong, dan genggaman erat yang seolah tidak mau kehilangan.
Panjangnya jarak dari penjemputan menuju tempat parkir taksi yang telah dia sediakan, aku hanya bisa menatap samping mukanya. Lama dan penuh makna, aku jarang sekali memperhatikan dia sampai sebegitunya. Ini adalah pertama kalinya, seketika itu aku melupakan dia sahabatku, melupakan sahabatnya yang aku suka, dan menaggap semua ini perlu dimaknai berbeda.
Tatapan matanya padaku seketika membangunkanku dari lamunan, dari angan yang tidak pernah terbayang. Taksi telah ada di depan mata, pintu yang terbuka mengharuskan aku untuk memasukinya, genggaman eratpun harus aku lepaskan, dan terkesan semua terselesaikan. Aku lantas menempati tempat duduk di sebelah kiri dan dia di sebelah kanan.
Perbincangan banyak kita angkat dari topic-topic yang sudah terlewatkan, termasuk bagaimana aku dengan perasaanku yang kerap kali aku bagikan padanya. Keseruan hanya kita miliki berdua, sopir taksi yang tidak mengetahui segalanya karena berbeda bahasa, pemandangan di luar sana yang masih terkalahkan oleh tema, hingga kebisingan kendaraan lain yang masih bisa kita kalahkan.
Perjalanan terkesan singkat, gedung penginapan mahasiswa yang berada di kanan jalan membuat semuanya behenti. Pembicaraan, keseruan, kebahagiaan, dan tawa kebersamaan, semuanya berhenti, dan segalanya mati. Mulai terbanyang bagaimana keadaan ke depan.
Koperku mulai diturunkan oleh supir taksi. Aku dan dia pun akhirnya keluar dan memandang apa yang akan terjadi. Dia mengantarkaku pada tempat penginapanku. Menggunakan lift, lantai pertama, kedua, dan ketiga dilewati tanpa ada bekas. Pintu membuka di lantai empat, menuju pavilion nomor 26 kita lalui berdua tanpa jeda. Hal itu telah dipersiapkan dia sebelum-sebelumnya.
Sampai di tempat istirahatku, aku mulai berbenah dan bersantai ria. Sejenak aku memikirkan seseorang yang aku suka, karena orang itu akan lama tidak bersamaku, tapi aku akan lama berada dekat bersama sahabatnya. Iya, dia adalah sahabat orang yang aku suka.
Tiba-tiba ponselku bersuara, satu pesan masuk.
Dia : "Akan aku ajak kamu berkeliling kota ini sore nanti, aku jemput tiga jam lagi."
Aku : "Ok, keknya seru. Aku siap-siap dulu." Itu jawabanku, bergegas aku membereskan barang-baangku yang telah termuntahkan dari dalam koper.
Sore datang begitu cepat, dia memberitahuku sudah berada di bawah gedung pavilionku. Bergegas turun dan keluar dari gedung, senyum hangat dia menyambutku. Udara dingin penusuk tulang sedikit membuatku kedinginan, mungkin karena belum terbiasa saja. Ah, jahatnya dia malah tertawa.
Beberapa puluhan meter telah kita lewati berdua, shall di leherku aku naikkan, jaket di badanku kemudian aku kancingkan. Tapi tangan ini masih terabaikan, aku gosok-gosokan kedua tanganku sembari berjalan di trotoar jalan bersama dia. Sinar matahari sore itu tidak mampu mengalahkan dingin, bunga yang mekarpun masih mampu menengadah pada cahayanya.
Jalan-jalan begitu ramai sesak dipenuhi banyak orang sore itu, namun yang merasakan kedinginan sepertinya hanya aku. Kembali lagi dia tertawa, iya seseorang yang di dekatku. Ah, aku menunduk dan seketika aku melihat tangan kanan dia menyambut tangan kiriku lantas dengan pelan menggenggam tanganku dan memasukannya pada jaket tebalnya. Jujur saja aku sangat kaget, tidak hanya itu yang aku dapat, karena kebahagiaan dan kenyamanan aku dapatkan pada waktu dan tempat yang sama.
Aku dan dia, dan hanya berdua, kita lewati jalan-jalan kebisingan kota. Dia mengajakku pada sebuah taman kota yang banyak pengunjungnya. Melewati pintu masuk yang tiada penjaganya, aku seolah menegakkan langkah, menyiapkan mental dengan siapa aku berjalan. Dengan dia temanku, sahabat dari orang yang aku suka. Dan kini, tanganku masih ada di saku jaket tebalnya.
Perlahan dia mengeluarkan tanganku dari saku jaket tebalnya, sambil berjalan di lantai yang membentuk pola seni kemudian dia merangkulku. Aku dan dia tidak berhadapan, tidak saling memandang, dan tidak saling bertatap. Kita hanya menatap ke depan, merasakan segalanya terjadi seolah sudah ditakdirkan.
Perkataan demi perkataan mulai diungkapkan.
Dia : "Aku tau siapa yang memiliki hatimu, aku tau siapa yang kamu cintai, dan aku tau siapa yang memiliki rasamu. Aku tau semua, tapi bolehkah aku meminta padamu agar kamu mencintaiku, agar aku memiliki hatimu, dan agar aku ada dalam rasamu?"
Langkah kaki kemudian menjadi begitu beratnya, tatapan mata tajam masih lurus ke depan, dan tangan masih merangkul dipundak yang seolah ketakutan. Seketika, semua terhentikan. Dia memaksaku menatapnya, memandangnya, dan menjawab segala yang dia tanyakan, hingga akhirnya kita berdua berhadapan dan aku dan dia hanya berdua.
Di tengah taman yang berkeramik pola Timur Tengahan aku menangis, yang kemudian memaksaku menyandarkan jiwa dan ragaku pada dadanya. Membasahi jaket tebalnya dengan air mata, dan membuatnya memelukku seolah akan kehilangan.
Aku lupakan orang yang aku suka, aku lupakan dia sahabatnya, aku lupakan lima tahun aku menunggu sahabatnya, aku lupakan diam yang membuatku bisu di hadapan cinta, aku lupakan ungkapan-ungkapan kode untuk memberitahukan, aku lupakan segala hati yang pernah aku korbankan, dan aku melupakan segala kesakitan yang telah aku lewatkan.
Saat ini aku ada di hadapan cinta yang agung, di hadapan dia yang mencintaku seperti cinta yang aku memiliki. Serta detak jantung keseriusan yang dapat aku rasakan hingga di luar jaket tebal yang dia kenakan. Aku yakin saat ini aku mencintainya dan aku memberikan rasaku untuknya dengan melupakan segala yang pernah aku sia-siakan sebelumnya.
Aku sambut pelukannya, aku satukan kedua tangaku di punggungnya. Hingga aku merasakan dekapan yang seolah tidak ingin terpisahkan. Dan aku yakinkan bahwa dia yang harus aku perjuangkan, dia yang memintaku untuk mencintainya, bukan yang aku minta untuk mencintaiku. Saat itu segalanya hangat, dingin mulai menjauh, malam menyambut kebahagiaan, dan di atas kita ada mega tidak segagah biasanya di hadapan aku dan dia, serta di hadapan cinta yang agung.
Iya, sekarang aku mencintai dia, dan semua itu hidup dalam mimpiku sore tadi. Jangan salahkan aku untuk membawa semuanya dalam realita. Itu semua memang mimpi, tapi jika awalnya dimulai dari kerinduanku pada dia, aku rasa mulai ada yang berbeda antara aku dan dia. Akhirnya, sore tadi kita telah bertemu (dalam mimpi), aku dan dia hanya berdua. Bangunku, membawaku melupakan cinta yang sebelumnya dan memulai segala yang belum pernah ada. Semoga aku dapat cinta yang tidak hanya hidup dalam mimpiku, tapi secara nyata dalam realita. Itu saja,
*Debu Ambigu