Maaf, aku baru saja menyempatkan waktu untuk memberitahumu. Sebenarnya sejak dari Selasa, 24 Febuari 2015 kumpulan puisi yang aku namai Sajak Kalong Edisi #1 telah aku selesaikan. Bukan karena kebosanan, tapi aku mencoba untuk menulis sesuatu yang baru. Meskipun masih tetap dalam genre atau jalur yang sama, yap betul sekali tetap dalam puisi. Entahlah kenapa aku sangat mencintai genre ini. Mungkin karena semakin kesini aku semakin ambigu. Asal jangan menganggap perilakuku ambigu saja, karena menurut saya keambiguan itu lebih pada kata yang keluar dari pemikiran fana mahasiswa sastra.
Ah apapun alasannya aku hanya ingin sekedar berbagi cerita. Sejujurnya aku ingin berterimakasih pada Tuhan, tentunya yang telah mengizinkan semua ini menjadi realita. Lagipula aku tidak suka saat semua hanya berada dalam dunia maya, fana apalagi pikiran belaka. Eh,... sebersit aku teringat kata-kata dari seseorang yang sangat menginspirasi, dia itu Bangkit Wismo. Dalam twitternya tertera "Aku ingin menjadi seperti apa yang aku pikirkan" dibawah singkatan nama yang sungguh melegenda @bang_immo. Terimakasih bang, kata-katamu menjadi salah satu spirit dalam hidupku. Selanjutnya aku juga ingin berterimakasih pada keluarga atas segala doa dan semuanya, hingga aku bisa bertemu dengan orang-orang baik di luar sana. Pertemuan itu membawaku menapaki realita luar biasa yang aku rekam lewat kata. Dengan segala rekaman itu aku goreskan pada kertas lewat pena. Hingga akhirnya sekitar 132 sajak teruntai dengan sendirinya, kunamai Sajak Kalong agar lebih bisa diterima semua kalangan pembaca. Selain itu, sebenarnya nama itu adalah pemberian kakakku tercinta karena kebiasaanku yang setiap malam jarang sekali menutup mata hanya untuk menemani kata.
Kini, aku memulai lagi dari pertama. Memulai segalanya yang aku harapkan akan ada akhirnya. Semakin ambigu diriku, semakin sakau aku ingin menulis semua perjalanan realita di atas kerak bumi yang aku tapaki dengan payung langit yang tiada pernah aku ketahui luasnya. Kunamai perjalanan saya menuju kata edisi kedua ini dengan "*Debu Ambigu". Alasannya simpel saja, karena aku mengagumi debu, betapa bebasnya dia di luar sana tapi sangat agung kala digunakan sebagai diksi bahasa yang kembudian dipadukan dengan keambiguan pemikiranku pada realita hidupku. Itu saja,
Sampai berjumpa di akhir edisi kedua versi perjalanan saya menuju kata *Debu Ambigu.
Umy Amanah
0 komentar:
Post a Comment