Kulminasi (dan cerita-cerita lain) adalah sebuah buku antologi cerpen para Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival, Ubud, Bali, 2016. Menurut kata pengantar, buku ini adalah media bagi mereka untuk mengikat tali silaturahmi dan produktifitas berkarya. Begitu ringkasnya.
Sejujurnya dari sekian banyak cerpen yang ada di dalamnya, saya perlu jungkir balik untuk memahaminya. Habisnya, baik tema, latar, maupun pemikiran dalam cerita berbeda-beda. Misalnya saja tema cinta yang bahkan dimaknai berbeda-beda dalam setiap cerita. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam saya memahami isi.
Saya boleh bilang bahwa hampir semua cerpen dalam buku ini saya sukai. Akan tetapi, sebagai pembaca saya tentu saja tidak munafik untuk mengakui ada satu cerita yang menjadi favorit saya.
Depor (dibaca dapur) karya Arung Wardhana Ellhafifie berhasil menjatuhkan hati saya. Depor adalah sebutan dapur oleh
orang-orang Madura. Berseting di Pondok Pesantren Nurut Taufiq dari 1987 sampai 2016 diringkasnya menjadi cerita 10 halaman.
Saya sangat terkesan dengan isi ceritanya. Pemahaman saya mengenai cerita tersebut adalah tentang prinsip "kesabaran dan penerimaan". Kita tidak pernah tahu segala sesuatu yang saat ini sedang dilakukan akan bermuara ke mana. Seperti keteguhan hati seorang santri dalam cerita yang sangat mencintai Kiainya sampai ia pun menjadi juru masak Kiai selama 12 tahun.
Cita-cita seorang santri adalah mengaji, mendapatkan ilmu, dan kembali ke kampung halaman untuk mengajar, sudah begitu kebiasannya. Akan tetapi si tokoh berbeda, Kiai menjadikannya juru masak selama 12 tahun, bahkan mengaji hanya dari kesempatannya mendengar obrolan Kiai dengan para tamu.
Keadaan seperti itu tidak menjamin seorang santri pun tidak mengeluh. Banyak keluhan, kekhawatiran, protes, dan penyesalan. Hanya, dalam hati seorang santri itu terdapat cinta yang besar dan kasih yang tulus kepada Kiainya. Sehingga, 12 tahun dilewatinya dengan kesabaran dan penerimaan.
Saya sebagai pembaca termasuk orang yang percaya bahwa kesabaran akan berlabuh kepada sesuatu, yang baik tentu saja. Seperti pada cerita, kesabaran dan penerimaan si santri dalam cerita membawanya menjadi pemimpin pondok pesantren menggantikan Kiainya yang meninggal dunia.
Seorang santri yang selama 12 tahun tidak pernah mengaji. Kegiatannya pun hanya memasak di dapur Kiai kini menjadi seorang pemimpin pondok, bahkan bukan lagi menjadi pengajar ngaji di kampung halaman seperti kebiasaan. Kesabaran dan penerimaannya berlabuh kepada yang baik, bahkan terbaik di kalangannya.
Surakarta, 19 Januari 2020
0 komentar:
Post a Comment