Saturday, September 13, 2014

Cepat Kemari Sebelum Aku Beranjak Pergi...!

Sendiri, wanita sendiri, menunggu, menunggu seseorang, waiting someone
Ternyata seseorang telah membuatku tak merasa bahagia secara lama. Sayang, aku baru sadar akan hal itu semuanya, KINI. Maafkan aku sang waktu, yang telah melupakanmu, menganggap semuanya begitu cepat, secepat detik meninggalkan jejaknya tanpa bekas yang tersisa, tanpa sadar telah begitu jauh saat aku melihat kalender yang tercoret merah kisaran lima tahun lalu. Apa aku masih harus tak bahagia? Karena cinta? Bekas cinta malahan.

Sayangnya aku merugi, tak seperti dia yang beruntung karenaku, karena cintaku tentunya. Bukannya cinta itu bahagia, seperti banyak pendapat tertoreh dalam teori para pemain perasaan yang sedang terbuai oleh keindahan cinta. Apa mereka belum pernah mengetahui bagaimana cinta itu menggoreskan luka? Ah ,... aku jadi semakin tak percaya mengenai perasaan suka. Apa ini tandanya bahwa perasaan suka berbeda dengan sayang? Ah apalagi itu, aku sungguh tak mengetahuinya.

Lima tahun lalu itu sebentar, saat semua kenangan masih terpotret jelas dalam kamera mata dan disimpan dalam hardisk hati yang tak pernah terganti. Namun sangat lama saat kita melihat waktu meninggalkan luka seperti virus yang memasuki hardisk hati yang tak bisa tergantikan. Biasanya hanya pembuangan memori yang harus dilakukan demi memperbaiki keadaan, tapi membuang memori itu sangat disayangkan. Apapun itu, baik memori saat dia membuatku memejamkan mata dan merasa semuanya masih terang, bahkan membuatku gelap gulita saat aku membuka mata.

Aku hanya ingin sedikit mengulang potretan-potretan yang tersimpan dalam hardisk hati yang selama ini masih, meski kekuatan hardisk dalam penyimpanan telah digerogoti virus dari apa yang menjadi perjalanan hidup. Lima tahun lalu ternyata menjadi pertemuan tersingkat dalam sejarah pettemuan yang berkelanjutan. 

Dua minggu dalam bayang perkenalan ternyata menjadikan kita lupa bahwa kita belum mengenal untuk lantas melanjutkan. Sayangnya kita geganah, menjadikan suatu perasaan tak pernah terpungkiri bahkan ditolak untuk memasuki relung hati. 

He : Hay,... aku "He". 
She : Ooh ya. Hay "He".

Terlalu singkat memang menceritakan awal dimulainya perkenalan secara seperti itu, tapi ketahuilan bahwa itu yang terpadu. Hingga menjadi sebuah perjalanan panjang memasuki apa yang kita akan jalani. Ketika sebuah perkenalan menjadi awal sebuah perasaan tak sama seperti yang lainnya, inilah yang membuat keduanya beruntung pada masanya.

He : "Aku sayang sama kamu, kamu mau jadi pacar aku?"
She : (dengan nada malu si "She") "Iya aku mau."

Ini lebih singkat lagi bukan, karena perlu diketahui, bahwa untuk mengungkapkan hal itu, kita hanya perlu dua minggu setelah perkenalan awal di atas. Bukannya itu terlalu singkat dalam sebuah keputusan. Ah apapun yang kita lakukan waktu itu seolah semuanya hanya menuruti kata hati yang keduanya memang baru pernah merasakan perasaan yang berbeda dari biasanya.

Penciptaan sebuah ikatan dengan perkenalan singkat ternyata menjadi awal kita menjalani sebuah status tanpa tau status apa sebenarnya itu. Kenyamanan, kebahagiaan, kesukaran, kegokilan, pengertian, pemahaman serta air mata menjadi warna dalam setiap cerita keduanya "He and She". Tak sesempurna seperti yang lainnya memang, sayangnya itu menjadi sesuatu yang tak pernah luput untuk dikenang.

Sayang, keretakan dalam sebuah hubungan takan pernah terpinggirkan. Dengan komitmen serta keputusan tanpa penyesalan menjadikan keduanya tak bisa dianggap menjalin status yang keduanya saja tidak tau status apa itu. Kesendirian masing-masing kala itu sungguh menyakitkan, layaknya duduk menangis tanpa ada bah di sampingnya, dan saat kita menoleh berharap ada seseorang yang tersenyum menyediakan bahu dengan genggaman erat tangan ternyata semuanya kosong. Hanya ada angin yang selalu menyapu kedinginan hati yang tak pernah terganti.

Tiga bulan telah terlewati, seolah tanpa cerita yang pantas tuk tertulis dalam buku karena hanya pikiran kekosongan dan flashback kenangan tak terlupakan. Tanpa komunikasi, bertatap, berpapas, berdialog dan ber-ber yang lain kita seolah seseorang yang baru kenal lagi kala itu. Seperti awal, persis saat perkenalan menjadikan sesuatu yang berkelanjutan.

He : "Hay,...Lama nggak ada kabar?"
She : "Iya nih, kamu juga lama nggak ada kabar." (seolah menahan kecamuk untuk mengatakan kapan kamu pernah menanyakan kabarku, memandangku, berjalan menghampiriku, menoleh kepadaku dan menatapku tajam seperti dulu, tiga bulan lalu).
He : "Iya nih, gimana kabarmu?"
She : "Baik, kamu gimana?"
He : "Baik juga, kok kita jadi kek orang berantem ya akhir-akhir ini?"
She : "Mungkin cuman ngerasa canggung aja."
He : "Ya mungkin."
..................
..................
Kemudian percakapan itu berlanjut, menembus angin yang biasanya menyapu kenangan seolah menahannya untuk kemudian memberitahunya bahwa kami berdua sedang mengenang masa yang tak pernah terfikirkan. Saat itu semua luka seolah hilang, kesendirian, ksedihan terganti menjadi senyum tak pernah terpalingkan. Hingga pagi menyambut dini hari sosok pertama dalam perkenalan itu seolah muncul kembali, tetap dengan orang yang sama.

He : "Apa kamu masih sayang sama aku? Seperti apa yang aku rasakan untukmu."
She : "Apa harus aku jawab, jika dirimu saja masih merasakan apa yang telah terlewatkan?"
Ternyata percakapan itu kembali mengantarkan kita kembali ke masa dimana kita saling memahami, sepeti kita yang meski tak ada kata kejelasan untuk status berikutnya setelah percakapan itu tapi kita memahami untuk kembali seperti dulu.
Setahun perjalanan cerita tak terdefinisikan menjadi goresan warna keruh dan terang jika digambarkan melalui kuas dalam kanvas. Sayangnya aku tak bisa membagikan segala potret yang tersimpan rapi dalam hardisk hati tak pernah tergantikan. Aku sadar, hari iu hanya selisih tiga hari dari hari dimana banyak orang mengatakan itu hari "One Year Anniversary" belum sempat merayakan atau mensyukuri segala yang telah terlewati ternyata keegoisan serta gengsi idiologi dari keduanya menjadikan semuanya nyata, ya pemutusan dari sebuah hubungan panjang yang tak pernah tergantikan.

She :"Maaf, baru bisa bales sms kamu. Tadi pas latihan hp nya mati, aku juga bru sampai di rumah."
He :"Nggak di bales juga nggak papa."
She : (cape membuatnya tak terkendali, bersamaan dengan emosi dia tak terlebih dahulu mempertimbangkannya hingga terucap) Kalau udah nggak bisa ngertiin aku yah udah kita putus aja, udahan. Emang kita udah nggak cocok kan, kamu nggak bisa ngertiin aku dan aku nggak bisa ngertiin kamu."
He : "Okay kita putus."

Jawaban "He" memang jelas, singkat, padat dan tanpa tau bahwa aku hanya perlu waktu untuk kamu memahami segalanya, menjawab tanpa membalas ego dari diriku yang tak terkendali. Sayangnya itu menjadi kata terakhir yang diungkapkannya. Karena tanpa sadar ternyata kita seperti musuh setelah itu.

Tanpa sapa, tatap, memandang, boro-boro untuk bercanda dan bercengkerama jika untuk berkata di hadapannya saja aku tak menyanggupinya. Seolah penyudahan sebuah hubungan waktu itu benar-benar menyudahi segalanya. Menyudahi kontak, sapa, salam, tatap, berkata, bercengkerama dan segalanya yang sebelumnya tak pernah ada. Aku tak pernah berharap banyak padanya, hanya dalam doaku aku selalu berharap bisa menjaga hubungan baik dengannya tanpa khuatir akan lebih dari hubungan teman. 

Sayangnya semuanya terkesan tertutup dan keduanya sama-sama seakan melupakan segalanya yang pernah ada. Aku tak pernah tau isi hatinya, pikirannya dan pilihannya. Namun apapun itu, aku hanya ingin mengungkapkan sesuatu yang tak pernah tersampaikan padanya.
"Terimakasih engkau menjadi yang pertama yang telah mengajariku rasa yang berbeda dari biasanya."

Sebenarnya dari dulu aku ingin mengucapkan itu, langsung padanya. Sayangnya waktu tak pernah mengijinkan. Seperti angin yang takan bisa dikenali mana yang pernah menyentuh kita untuk berusaha menghilangkan keringat dari fisik manusia. Aku selalu berpendapat bahwa :

"Betap beruntungnya dia yang aku cinta, dan betapa meruginya aku mencintainya."

Ketahuilah jika saat ini kamu menoleh padaku, rasa itu takan pernah hilang dari awal pertama kamu mengungkapkan hingga kini yang hanya aku yang bisa merasakannya. Aku tak pernah berdoa lebih untuk menjadikanmu seperti dulu, hanya aku berdoa semoga apa yang aku rasakan masih tetap sama seperti ima tahun lalu (hanya untuk sampai malam ini saja). 
Jangan salahkan aku, jika suatu saat kamu membaca curahan katiku dan memahami itu, aku telah beranjak dari apa yang telah membuatku sampai enggan menunggu. Karena aku hanya takut waktu akan membuatku meninggalkanmu dari menunggu serta membawaku pada ajakan sosok lain yang tak suka melihatku terpuruk dan menunggu.


Umy Amanah

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.