Menjadi mahasiswa tingkat pertama tentunya perlu penyegaran untuk mengalihkan kepenatan pada adaptasi materi di Perguruan Tinggi. Tidak terkecuali saya dan teman-teman, meski libur semester pertama telah usai, ternyata beberapa dari kami banyak yang belum menikmati pesona keindahan yang Tuhan telah ciptakan. Hingga akhirnya beberapa dari kami memutuskan untuk keluar dari kepenatan, diantaranya Icha Latifah Hanum, Zulfah Mirda Matondang, Eky Putri Ma'rufi, Erika Primardani, Eka Kristina Anggasari, dan saya sendiri.
Dimulai dengan aksi Icha menjemput saya di kost untuk kemudian menyambangi kost Mirda dan Eky. Sebenarnya pagi itu sedikit terganggu karena ulah salah satu dari kami. Tepat sekali, Eky pagi itu sengaja menonaktifkan ponselnya. Ternyata saat di sidak ke kostannya, dirinya masih senang bercumbu dengan air dingin alias mandi. Lupakan kekacauan, lanjut kita menata diri layaknya riders masa depan. Helm SNI, jaket tebal, penutup separuh muka, sepatu lecek khas anak sastra, dan tas yang tiada isinya menjadi barang bawaan kami semua. Dua motor melaju dengan santainya, sesantai anak-anak sekolah yang mengayuh sepeda karena bel masuk masih jauh terdengar.
Hari itu sebenarnya kami berangkat pagi-pagi buta, itu kalau saya yang bicara, habis, biasanya kuliah pertama saja pukul setengah delapan masa kita berangkat berwisata setengah 7. Sebenarnya ada alasannya kami berangkat pagi, pertama karena belum tahu jalan, kedua karena ingin menikmati fajar pagi yang menggelora di hati, ketiga biar sampai bisa sarapan di Wonogiri. Sarapan yang telah disediakan Eka dan keluarganya menjadi tujuan utama pagi itu.
Perjalanan yang kami lakukan dari Jebres, Surakarta menuju Wonogiri sebenarnya boleh dikatakan ngaret satu setengah jam. Maklum saja, pemandangannya sayang untuk di lewatkan. Bagaimana tidak, perlu diketahui bahwa Wonogiri adalah dataran tinggi yang menyajikan tebing-tebing dengan pesona keindahan batuan dengan diselimuti pepohonan. Sesekali atau bahkan berkali-kali kita berhenti sejenak untuk mengabadikan kuasa Tuhan yang luar biasa indahnya. Jalan yang berkelok-kelok dengan sensasi keindahan panorama di hadapan muka memang sungguh luar biasa. Perjalanan ke wonogiri layaknya perjalanan membelah pegunungan, menabrak tebing bebatuan, dan berlayar dalam waduk terbesar tanpa daratan.
Jembatan yang mengelilingi waduk sebagai penghubung desa, kita lewati dengan pelannya. Terlebih fajar pagi itu menyoroti air waduk hingga terpancar kilauan bintang yang tiada bisa aku perhitungkan. Jarak Surakarta-Wonogiri yang seharusnya bisa ditempuh dua jam saja, oleh kami menjadi tiga jam lebih. Betapa puas rasanya bisa menikmati panorama tersembunyi di balik kerasnya tebing Wonogiri. Sesampainya di rumah Eka, Pracimantoro, sarapan pagi telah disiapkan keluarganya untuk kami yang katanya tamu dari jauh. Lauk ikan lele, pecel, rambak, tempe goreng, tahu bakso, dan kacang goreng menjadi teman nasi yang sangat ditunggu-tunggu perut kami.
Perbincangan dalam rumah yang penuh aroma kekeluargaan kami lakukan untuk menghapus penat beberapa saat. Jujur saja, saya agak tidak suka memandang jam di hari itu. Entah kenapa jam di hari itu berjalan dengan cepatnya hingga tiba-tiba saja menunjukan pukul sepuluh. Hal itu menyadarkan kami untuk lekas berangkat ke tujuan kami dari perencanaan awal, yaitu berwisata ke pantai. Pantai yang kami tuju adalah Pok Tunggal, Selatan Yogyakarta. Jika ditempuh dari Pracimantoro yang nantinya melewati Gunung Kidul Yogyakarta sebenarnya hanya satu jam, hal itu karena Pracimantoro sebenarnya lebih dekat dengan Yogyakarta meskipun masih di Jawa Tengah.
Jam karet kembali terulang kala kita menuju Pantai Pok Tunggal, Yogyakarta. Bagaimana tidak, perjalanan seperti semula. Apalagi ini, disuguhi keindahan perbukitan dari batuan putih khas Gunung Kidul Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, kami berada di tengah-tengah perbukitan yang tidak telalu rindang dengan pepohonan. Untuk beberapa saat sungguh sangat mengagumkan, jalan aspal yang sangat mulus menghantarkan kita menikmati indahnya undakan pohon yang seolah berlomba siapa yang lebih tinggi, bebeatuan yang dililit rumput, dan pembatas jalan yang seolah melarang kita untuk merampas keindahan Yogyakarta. Namun tiba-tiba hatiku tersayat, kala aku harus melihat satu bukit kapur yang separuh bukitnya telah hilang oleh keserakahan manusia.
Terlihat di situ, kerasnya batu terkalahkan oleh kerasnya pemikiran manusia, cadasnya batu terpecahkan oleh alat buatan manusia, tingginya batu terkalahkan oleh tingginya keserakahan manusia, serta tangisan batu yang tiada pernah didengar manusia karena kebisingan kesibukan manusia yang selalu mengalahkannya. Sayangnya yang paling teragis adalah saat aku melihat sisa penambangan batu yang hanya dibiarkan begitu saja, hitam, melumut, rapuh, dan tiada menarik dipandang mata. Apa itu salah satu yang ditunjukkan oleh Alloh Swt. bagi kita yang melewatinya untuk selalu sadar bahwa apa yang tersedia di dunia bukan untuk dihabiskan semuanya. Entahlah, itu pelajaran yang saya ambil dari perjalanan panjang menuju surga dunia.
Dua jam lebih kita melewati panasnya mentari dunia, kerasnya batu yang bisa dihancurkan juga, panorama indah di hadapan muka, kuliner belalang yang tersaji sepanjang jalan, hingga terakhir batuan cadas yang mengguncang menuju pintu masuk pesona Selatan Yogyakarta, tepat sekali Pantai Pok Tunggal. Akses jalan masuk yang sedang diperbaiki oleh pengelola memang membuat kami sedikit terguncang beberapa saat. Dengan tangan yang harus kuat memegang stang kendaraan, kepala yang harus selalu berkonsentrasi karena sampingnya adalah jurang yang menganga, serta penat yang terkalahkan oleh suara debur pantai yang sudah terdengar telinga.
Tempat parkir di area wisata menjadi pemberhenti terakhir kita untuk berkendara. Terlihat hamparan pantai yang tiada bisa semua direkam oleh mata. Pasir putih yang memancarkan panorama Selatan Yogyakarta menyatu bersama birunya air laut yang dihempas angin pada tebing curam di pinggir sana, hingga garis pantai yang aku lupakan sebentar saja. Beberapa pengunjung aku lupakan sesaat, payung-payung kecil peneduh manusia yang takut pada mataharipun aku hilangkan sekejap, segarnya es kelapa muda aku hiraukan, hingga hanya syukur pada Tuhan yang berhasil aku ucapkan.
Mulailah kami menunjukkan kepribadian masing-masing. Empat orang dari kami yaitu Icha, Eka, Eky, dan Mirda lebih senang berfoto ria. Mengabadikan semua keindahan yang bisa dijepret oleh lensa kamera. Selfie ria terjadi di sepanjang pantai sana. Bebatuan besar yang tiada pernah kalah oleh terjangan ombak menjadi beckground foto mereka. Lalu tebing yang curam menjadi salah satu bentuk ekspresi kekuatan mereka. Sinar mentari jam duabelas menjadi lighting yang belum pernah digunakan manusia sebelumnya, angin mengirimkan keindahan ombak di setiap menitnya, hingga deburan ombak terjadi kala air mengakui kekalahannya.
Lalu bagaimana denganku? Aku hanya memilih duduk di pinggir pantai, di bawah payung peneduh yang kita sewa seharga dukali makan anak kost. Tas yang ditinggalkan mereka yang sedang berselfie ria menjadi temanku, meramaikanku, serta menemani ketakjupanku. Tidak hanya diriku, karena tepat di samping belakangku ada Erik, temanku yang sedang dirundung galau. Entahlah, permasalahan cintanya terlalu pelik untuk aku pahami. Aku lebih senang seperti ini, duduk menikmati segala yang tersaji. Meski kadang terlontar pertanyaan padaku, "Apa nggak nyesel nggak foto?" Jawabku, semua yang indah tiada harus diabadikan oleh lensa kamera, karena kadang hanya pelu hati dan diiringi pejaman mata untuk mengulang segalanya.
Aku pandangi dari jauh, terlihat garis yang memisahkan antara air dan langit. Apa itu salah satu bentuk bahwa Tuhan selalu menciptakan segalanya dengan batasan? Kemudian aku memejamkan mata, kurasakan angin yang tiada pernah terlihat oleh alat perekam terbaik di dunia yaitu mata. Apa itu pertanda, bahwa kadang seseuatu yang membuat kita hidup justru tak dilihat oleh kita? Selanjutnya aku lihat hamparan tebing nan jauh di sana. Apa itu pertanda, sesuatu yang tinggi itu letaknya jauh dengan kita, serta perlu mendekatinya dengan berlari dan bersungguh-sungguh untuk manaikinya dan berdiri di atas puncak sana? Serta aku lihat gulungan ombak yang lama-lama memudar. Apa itu pertanda, bahwa saat kita sedang diterjang prahara, kita terlalu kuat dan lekas lalai setelah selesai hingga semuanya memudar? Hingga pasir putih yang aku duduki. Apa itu pertanda bahwa sesuatu yang mati biasanya lebih mengerti kita dibanding mereka yang hidup, karena biasanya yang mati lebih tau segala yang ada dalam dada dibanding mereka?
Surutnya laut siang itu menyadarkan diriku dari lamunan. Beberapa pertanyaan yang ada dalam diri seolah memudar, menjadi hamparan karang yang terlumuti layaknya yang terlihat di depan sana selepas pasir pantai. Aku mulai memberanikan diri merasakan asinnya air yang filosofinya adalah air mata. Ku jalankan kakiku di hamparan karang yang tak rata. Aku pandangi semua yang hidup di bawah sana. Sampai sesekali aku berfoto untuk membuktikan, bahwa aku pernah ke surga dunia. Sepanjang jalan penuh pesona, hingga keterjalan jalan dalam mencapai menjadi saksinya, terbayar dengan indahnya semua yang tersaji di depan mata. Aku dan teman-temanku memulianya dari Surakarta, Wonogiri, Pracimantoro, Pok Tunggal Yogyakarta, dan yang kemudian diakhiri kembali ke Surakarta. Pejalanan setengah tujuh pagi hingga setengah delapan malam hari itu menjadi saksi bisu akan pesan-pesan yang didapat oleh setiap orang yang melakukan perjalanan.