Terlepas dari itu semua, Rabu 16 Oktober 2013 tepat H+1 Hari Raya Idul Adha 1434 H puluhan buah karya tiap kandidat telah ditentukan 12 TERBAIK ( TOP TWELVE ) kategori CIPTA PUISI TERBAIK. Dari situlah 12 Puisi Terbaik yang tercipta akan dibacakan oleh pembuatnya. Untuk membuat puisi memang bukan perkara sulit, namun bukan perkara mudah pula ketika harus bertarung dengan kehebatan diksi bahasa. Lanjut pemanggilan 12 Nominator Terbaik Cipta Puisi yang langsung dibacakan di depan Juri waktu itu yaitu Bu Agustina Widyastuti, S,Pd. , Bapak Joko Rusmanto S,Pd. M,Pd dan Bapak Drs. Nur Setiadi.
Nominator terus berjalanjur membacakan buah karya yang memang luar biasa dengan keindahan diksi bahasanya. Memang aku sendiri pecinta SASTRA, karena saya pikir bahwa sastra adalah seni yang mampu bercerita akan segalanya dan tetap agung dengan diksi bahasa yang melekat padanya. Di Perpustakaan SMA Negeri 2 Purbalingga siang itu saya berada diantara puluhan orang-orang dengan jutaan diksi bahasa di otaknya, jika dicermati ternyata ada 6 kandidat yang merupakan Anak LENTERA JURNALISTIK, ya itu mantan Ekstrakurikuler yang barusaja aku berhenti beberapa minggu yang lalu karena regenerasi kepemimpinan.
Memasuki nominator ke-7 aku masih santai karena keyakinanku bahwa apa yang aku ciptakan tak ada apa-apanya dibanding diksi bahasa yang terangkai oleh nominator lainnya. Ketika Pak Joko Rusmanto memanggil Nominator ke-8 sontak aku kaget, bingung ketika beliau menyebut "Nominator ke-8 dari kelas XII IPS 1 Umy Amanah" itu adalah kelasku dan hanya aku yang mewakilinya tanpa ada orang lain selain aku XII IPS 1. Dalam hati aku bertanya, apa yang membuat hasil ciptaanku masuk dalam 12 TERBAIK (TOP TWELVE) CIPTA PUISI? Entahlah, dengan canggung dan ragu aku berjalan ke depan. Membawa buah karyaku sendiri dengan kaget dan bingung. Aku sadar, aku adalah orang yang hanya bisa menulis puisi tanpa bisa dan sanggup membacakannya.
Berdiri di hadapan tiga Juri Lomba Cipta Dan Baca Puisi, Staf Perpustakaan dan beberapa guru yang sedang membaca sontak kaki ini lemas dan gemetar, mampukah aku membaca apa yang aku tulis. Diawali dengan membaca basmalah dan salam dengan hati aku mulai membaca apa yang aku ciptakan berawal dari judul :
RAKYAT SEKARAT
(Buah Karya : Umi Amanah XII IPS 1)
Menjadi insan tertinggi demokrasi
Meski tak pernah terpungkiri
Ketika kebijakan tak menaungi
Hanya korban para tokoh ingkar janji
Kadang memang terkesan pilu
Ketika ketidakadilan kian bersatu
Kejujuran terkesan menjijikan
Mempersatukan keegoisan dan arogan
Bukan mereka
Agung akan tingginya jabatan
Ketika rakya meminta
Demi tuk dapatkan sesuap makan
Aku diam
Sontak aku menatap
Menangiskah para pahlawan
Ketika nyawanya terkesan murahan
Bumi pertiwi kini memprihatinkan
Janji busuk yang terpaparkan
Hanya mengenang manisnya kalimat untaian
Realita berbicara, rakyat dijadikan korban
Bukan kode pesan tersirat
Ketika rakyat semakin sekarat
Ketika keadaan kian menjerat
Tanpa peduli agama dan akhirat
Ketika aku selesai membacanya, tepuk tangan memang terkesan meriah. Tapi aku bingung, akankah itu karena hasil karya atau hasil kubaca? Atau hanya arahan untuk memberi tepuk tangan pada Nominator yang membacakan hasil puisinya. Meski berujung kekalahan dalam penilaian membaca puisi, tapi aku percaya aku telah menang dalam cipta puisi, menjadi semangatku tuk terus menulis sastra dengan indahnya diksi bahasa. Apapun alasannya itu awal aku berdiri dan mampu untuk membacakan buah karyaku sendiri. Maaf saja, karena biasanya blog ini menjadi saksi bisu coretan puisi hasil inspirasi dadakan. Sekian dulu cerita malam ini, semoga dapat menginspirasi para pembaca. Jangan ragu tuk membaca apa yang telah anda ciptakan, karena tanpa anda ketahui. Sebuah karya lebih agung jika dari tulisan yang mati timbullah suara yang lebih indah dari hanya sekedar guratan pena.